Jumat, 30 Januari 2015

[Cerpen] Surat Cinta Untukku

Surat Cinta Untukku
 By: Miss Dhe

Aku menarik undangan pernikahan dari tumpukan buku di meja kerjaku, tanpa kusadari air mata menetes dari pelupuk mataku. Semakin lama semakin deras. Bukan karena undangan itu jelek, desainnya sangat indah, kertas berwarna cream dengan tulisan yang tercetak dengan warna gold tak lupa aksen bunga-bunga di tepi kertasnya yang berbentuk menyerupai bingkai, mewah bukan?
Yang membuat aku menangis adalah nama kedua mempelai yang akan menikah. Mempelai wanitanya adalah Ayudya Selfi, dia adalah sahabatku semasa SMA. Bukan dia yang menjadi pokok masalah, melainkan mempelai prianya yaitu Ferly Agasta, pria yang sejak lama sudah mengsisi penuh rongga-rongga dadaku.
Ceritanya memang agak konyol, tapi itu benar adanya, aku menyukai Ferly sejak aku kelas VII SMP dan sekarang aku sudah bekerja di sebuah distro dan kafe yang aku dirikan bersama dua temanku. Rasa itu terjaga selama 11 tahun lamanya tanpa tersentuh perasaan ingin berpaling kepada yang lain.
Aku mengerang pelan sambil menyeka air mataku dengan punggung tangan lalu menyimpan undangan itu kedalam tasku, besok aku harus tetap menghadiri acara pernikahan itu walaupun hatiku serasa hancur. Aku sudah menyiapkan kado terbaik untuk mereka berdua.
“Kamu kenapa, May?” tanya sebuah suara menyadarkanku.
“Eh, Mbak Genie. Tidak, aku hanya bingung besok mau pakai baju apa,” balasku berbohong, mana mungkin aku bingung memilih pakaian untuk menghadiri acara pernikahan teman. Aku selalu bisa mix and match pakian untuk tubuhku sendiri walaupun aku minim pengetahuan tentang fashion.
“Butuh bantuanku?” tawar Mbak Genie seraya duduk di sofa ruanganku, dia memang seorang desainer sekaligus stylish di distro kami.
“Boleh, tapi yang simple saja ya, Mbak. Aku tidak mau terlihat mencolok,” ucapku lalu mengikuti Mbak Genie duduk di sofa, pekerjaanku sedang tidak banyak maka aku tidak perlu dipusingkan dengan deadline untuk beberapa hari ke depan.
Mbak Genie mengangguk setuju, sama sekali tidak menaruh curiga padaku yang telah berbohong padanya.
@@@
Aku meletakkan kepalaku di meja, sepertinya energiku benar-benar drop hari ini. Kedua sahabatku yang kuajak makan siang bersama hanya menatapku prihatin.
“Kamu tetap berangkat besok?” tanya Helen seraya menyeruput jus jeruknya dengan ragu, tidak tahu apa yang membuatnya ragu padahal biasanya dia rakus.
“Hmm,” balasku tak bersemangat.
“Kalau tidak mau tidak perlu berangkat,” timpal Ocha bijak. Hufh, sejak kapan dia tidak bijak, dia memang selalu bijak.
Aku mengangkat kepala dan menatap kedua sahabatku tanpa semangat, “aku akan berangkat, kalian juga’kan?”
Helen dan Ocha kompak mengangguk.
“Tapi mungkin aku tidak akan bersama kalian, aku ada meeting dengan klien,” ungkapku lalu meletakkan kepala di meja lagi.
Kudengar Helen dan Ocha menghela napas berat, saat ini aku sedang tidak peduli. Hatiku hancur berkeping-keping hanya karena cinta pertamaku akan menikah, padahal aku tidak mengenal baik siapa itu Ferly. Namun cinta itu datang tanpa dipaksa dan tidak mau pergi walau sudah dipaksa-paksa.
@@@
“Ingat Maysa, umurmu sudah 23 tahun! Kamu harus dewasa!” ucapku sambil memandangi cermin pagi ini, aku sedang bersiap menghadiri acara pernikahan temanku dengan cinta pertamaku. Namun tiba-tiba semangatku turun lagi, “seharusnya aku juga harus menikah, aku tidak mau menikah diusia lebih dari 25 tahun...” keluhku sambil mematut diri didepan cermin.
“Ah, mungkin memang belum saatnya,” aku menghibur diri, “mungkin Tuhan sedang mempersiapkan kejutan untukku, semangat Maysa! Kamu harus bisa!”
Aku menyambar tasku lalu beranjak dari rumahku, aku memang tinggal sendiri di sini karena rumah orang tuaku cukup jauh dari tempatku bekerja, karena aku tidak mau mengambil risiko pulang-pergi dengan jarak yang lumayan melelahkan.
Aku menghentikan taksi yang aku lihat pertama kali. Taksi itu melaju dengan mulus setelah aku mengatakan tujuanku. Helen dan Ocha mungkin sudah sampai di sana karena aku menyuruh mereka berangkat lebih dulu, lagipula aku berharap tidak bertemu dengan mereka di resepsi nanti.
Aku menyerahkan undanganku kepada dua orang penjaga di depan pintu lalu melenggang dengan gaya sok anggun memasuki ruangan yang mampu menampung 3000 orang itu, aku harus menjaga sikap di acara seperti itu walaupun rasanya risih. Aku yang tidak terbiasa memakai high heels sampai aku paksakan karena tidak boleh masuk tempat resepsi bagi tamu undangan tanpa pakaian resmi yang berarti setiap orang yang berjenis kelamin perempuan diwajibkan memakai sepatu ber heels.
Aku agak pusing melihat orang sebanyak itu dalam satu ruangan, aku juga tidak berminat menyantap makanan yang sudah tersedia di beberapa stand. Perutku serasa kenyang sepanjang waktu. Aku melihat ada beberapa white screen yang menampilkan kata-kata indah, sepertinya itu surat cinta. Dugaanku benar karena di pojok kanan bawah tertera nama Ferly dan tanggal pembuatan.
“Huh, apa-apaan itu? Mereka mengumbar kemesraan,” ucapku dalam hati, namun seketika aku memukul kepalaku sendiri, “mereka’kan sudah menikah,” ucap hatiku kemudian.
Acara dibuka dengan sambutan kedua keluarga yang mengucapkan terima kasih banyak, kemudian dilanjutkan kedua mempelai memasuki ruangan dan duduk di pelaminan yang dihias dengan kelambu berwarna cream dan hiasan-hiasan berwarna gold, mirip dengan undangan yang aku terima beberapa waktu lalu.
Aku mendesah ketika melihat kedua mempelai itu, tampak sangat bahagia dan menikmati acara itu. Mana mungkin tidak! Itu acara mereka.
Acara dilanjutkan dengan hiburan-hiburan entah apa namanya, aku tidak terlalu peduli, jam dipergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul dua belas siang.
Meetingnya pukul satu, kalau aku pergi sekarang  pasti masih cukup untuk prepare,” ucapku lalu segera kudekati pelaminan untuk sekadar berbasa-basi mengucapkan selamat. Saat ini aku lebih memilih memikirkan pekerjaanku daripada yang lain-lain untuk meminimalisir perasaanku yang tercabik-cabik.
“Selamat ya, Ay,” ucapku lalu bercipika-cipiki dengan Ayu, aku menyunggingkan senyumku yang kubuat paling tulus walau aku yakin itu tidak mungkin terjadi, “surat cintanya indah,” bisikku tapat di depan telinga Ayu.
“Buatan suamiku,” sahutnya sembari tersenyum malu-malu.
“Waw, keren,” aku mengacungkan ibu jari tanda salut, “ng... Ay, aku mau sekalian pamit. Jam satu ini aku ada meeting, tidak apa-apa’kan?”
“Ck, dasar workaholic. Iya deh tidak apa-apa, terima kasih sudah datang,” cetusnya agak kecewa namun kemudian dia tersenyum kembali.
Aku minta maaf Ayu!! Selain karena meeting aku pergi lebih cepat karena aku tidak tahan!! Hatiku hancurrr.
“Semoga kalian langgeng ya...” ucapku terakhir kalinya lalu menyalami Ferly yang berdiri tepat disamping Ayu. Aku tersenyum kepadanya, namun dia membalas dengan senyuman yang menurutku sangat aneh. Seakan menyiratkan pesan untukku, apa dia tidak ingin aku datang? Atau dia tidak menginginkan pernikahan itu??
Aku menganggukkan kepala kemudian berlalu, tanpa berani menoleh lagi. Tatapan mata Ferly membuatku semakin sakit hati, sadar cinta Ferly bukan untukku melainkan untuk teman baikku sendiri.
“Cepat menyusul, Maysa!” aku mendengar Ayu berteriak seperti itu, membuatku terpaksa menoleh. Aku tersenyum sekenanya lalu cepat-cepat kabur.
Aku berjalan gontai di tengah keramaian, aku memilih berjalan kaki dan mengambil jalan memutar supaya aku tidak cepat-cepat sampai di tempat meetingku yaitu distro dan kafe. Pasti Mbak Genie sudah menyiapkan semuanya, pikirku.
Hatiku sepi di tengah keramaian, oh tidak!! Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Meskipun selama ini aku selalu menunggunya dalam ketidakpastian. Benar kata orang, jika tidak pernah bertemu tidak akan berpisah. Saat ini aku benar-benar berharap kalau aku tak pernah bertemu dengan Ferly, rasanya sakit sekali.
Perhatianku tiba-tiba tertuju pada keramaian yang tak jauh dariku, keramaian yang menurutku sangat ganjil. Karena penasaran akupun ikut melihat keramaian di tengah jalan itu.
“Ada apa sih, Bu?” tanyaku kepada seorang Ibu yang berada disampingku.
“Ada tabrak lari, Mbak. Korbannya sepertinya baru saja menikah, soalnya....”
Ucapan Ibu itu tak kudengar lagi, aku langsung merangsek masuk di kerumunan orang itu. Aku mendekap mulutku saat melihat dia terkapar dengan bersimbah darah, dia yang kucinta, dia yang aku nanti namun tak dapat kumiliki. Memang benar dia yang menjadi korban tabrak lari itu.
“Ferly?!!!” aku mengangkat kepalanya dan menidurkannya di pangkuanku, air mataku meleleh tanpa dikomando, “Ferly... kamu mendengarku?” aku mengusap pipinya yang banyak terkena darah dari kepalanya yang terluka.
“Akanku panggilkan ambulans,” ucap salah seorang yang menjadi penonton berinisiatif.
Aku melihat kelopak mata Ferly terbuka perlahan, dia tersenyum kepadaku, bukan dengan senyum aneh seperti di dalam gedung resepsi tadi melainkan senyum yang pernah membuat hatiku luluh lantak sebelas tahun yang lalu.
“Kamu tahan sebentar ya, ambulans segera datang,” ucapku tanpa bisa berhenti menangis. Dia mengusap air mataku dengan tangannya yang berdarah-darah, membuat wajahku ikut terkena darahnya.
Aku memegang tangannya yang bergetar dengan tangan kiriku sementara tangan kananku menjaga kepalanya supaya tidak banyak terkena guncangan.
Aku tak menyangka kenapa dia bisa sampai di tempat ini, bahkan aku baru saja menemuinya di tempat resepsinya.
“Surat cinta itu untukmu, bukan untuk Ayu,” lirihnya dengan tulus, dia masih menyungingkan senyuman itu. Senyuman yang membuatku hingga detik ini seakan tersihir dan tak mampu melepaskan diri dari pesonanya, “di hatiku hanya ada kamu,” lanjutnya tanpa melepaskan senyuman yang sangat aku sukai.
Aku menangis sambil terus menatap matanya yang juga menatap mataku, tak ada kebohongan terpancar dari dua manik berwarna cokelat itu. Perlahan aku lihat mata itu kembali terpejam, terpejam untuk selamanya....
@@@
Aku berdiri tak jauh dari kerumunan orang yang tengah berduka karena kehilangan seorang anggota keluarga mereka, aku melihat Ferly tampak bahagia di persemaiaman terakhirnya. Ferly meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit karena terlalu banyak kehilangan darah dan lukanya terlalu parah. Dihatiku juga hanya ada kamu cetus hatiku yang terdalam.
Aku hendak berbalik dan pergi ketika ada sebuah suara yang memanggilku, aku menoleh dan menemukan Ayu dengan balutan dress berwarna putih dan kerudung berwarna putih juga, sama sepertiku. Di tangannya ada kotak berukuran sedang berwarna biru, warna kesukaanku.
Ayu tersenyum kepadaku yang tampak lebih kacau darinya, tidak tahu kenapa sepertinya Ayu tak begitu merasa kehilangan Ferly padahal dia adalah istrinya.
“Boleh bicara sebentar?” tanya Ayu yang hanya mampu aku jawab dengan anggukan kepala.
Ayu menyodorkan kotak ditangannya itu kepadaku setelah berada di luar area pemakaman, “harusnya aku kembalikan sejak dulu, tapi aku tidak melakukannya,” Ayu tersenyum pahit.
“Apa ini?” tanyaku bingung.
“Itu milikmu.”
“Milikku?” aku membuka tutup kotak itu, di dalamnya ada berpuluh-puluh amplop surat. Mataku sontak terbelalak, aku menatap Ayu minta penjelasan.
“Ya, itu surat cinta yang kamu bilang indah kemarin. Sebenarnya itu untukmu, kamu tidak sadar dengan tanggalnya? Tanggal dibuatnya jauh sebelum aku bertemu dengan Ferly karena alasan perjodohan,” ungkap Ayu dengan mata menerawang, “kita impas, May. Aku kehilangan kekasihku sehari sebelum aku menikah karena dia bunuh diri, sementara kamu kehilangan Ferly satu hari setelah kami menikah karena kecelakaan.”
Tanganku bergetar mendengar ucapan Ayu itu, kenapa dia bisa mengucapkan hal seperti itu padahal suaminya kini sedang dimakamkan.
Aku melihat Ayu mulai menangis, namun aku yakin dia menangis bukan karena Ferly melainkan kekasihnya yang meninggal lebih dulu dari Ferly.
“Kami menikah bukan atas dasar cinta, kami bertemu juga bukan karena takdir sebuah cinta, tapi takdir sebuah bisnis keluarga. Kamu tidak perlu merasa kecewa, karena cintamu dibawa Ferly sampai mati tanpa ternodai sedikitpun,” setelah mengucapkan itu Ayu meninggalkanku yang sekarang sudah bersimpuh di tanah yang agak basah karena hujan tadi pagi, aku tidak sanggup lagi walau hanya untuk berdiri.
Aku mendekap kotak yang tadi diberikan Ayu kepadaku, hatiku tersayat-sayat lebih dalam. Aku lebih menginginkan kamu bahagia walau pun aku tidak dapat melihatmu lagi selamanya, Ferly…. Ternyata Ayu bukan yang terbaik untuk kebahagianmu.
@@@
Faldin meletakkan segelas jus alpukat kesukaanku di atas meja kerjaku, aku langsung meminumnya dengan ganas sampai habis. Faldin adalah kakak kandung Mbak Genie yang notabene adalah pengelola kafe karena kemampuan memasaknya yang bisa dipertanggung jawabkan.
“Masih patah hati?” tanyanya sambil tersenyum usil. Otaknya yang jenius tidak menutup kemungkinan dia melakukan hal-hal yang menyebalkan, “kemarin aku tidak sengaja membaca salah satu surat cinta dari Ferly-mu itu. Sepertinya dia menulis setiap bulan ya, sempat sekali dia.”
Aku mendelik kepadanya lalu melemparnya dengan pulpen di tanganku, “dasar tidak sopan!”
“Maaf deh, tapi aku membaca kalau kamu harus mencari laki-laki baik untuk pendamping hidupmu. Kamu tidak mau melaksanakan amanatnya itu?” Faldin mendekatiku lalu berdiri di belakangku, entah kenapa tiba-tiba dia bersikap aneh seperti itu.
“Aku belum menemukan laki-laki yang dapat menerima gadis yang dihatinya sudah penuh dengan laki-laki lain,” sahutku tanpa memperhatikannya karena perhatianku terkuras oleh pekerjaan di depan mataku.
“Oh begitu?” ucapnya dengan nada kecewa. Aku menoleh kepadanya yang sekarang ngeloyor begitu saja meninggalkanku.
“Apa-apaan dia?” deisiku heran, sedetik kemudian aku mengedikkan bahu tak peduli lalu meneruskan pekerjaanku.
@@@
Aku mencintaimu lebih besar dari yang dapat kamu dan aku pahami, karena cinta itu datangnya dari Yang Kuasa. Aku tidak dapat memintanya dan juga tak dapat mencegahnya. Cinta itu erat hubungannya dengan takdir seseorang yang telah digariskan Tuhan, aku percaya jika kita tak dapat bersatu di dunia kita dapat bersatu di alam baka. Tempat keabadian kita dan Cinta kita.
Carilah laki-laki terbaik yang dapat membawamu ke tempat yang terbaik pula, karena aku sudah tidak bisa melakukannya lagi. Jangan pernah menyesali jalan takdir yang telah kita lalui apapun alasannya karena itulah cara kita mensyukuri yang telah Tuhan berikan kepada kita.

Yang selalu mencintaimu, 26 Juli 2010
Ferly
@@@
Aku telah menunggu di mana aku akan kembali dapat merasakan desahan napasmu, karena dengan begitu jantungku akan dapat berdetak normal kembali. Aku bukan orang yang suka mengobral kata-kata cinta, yang aku bisa adalah menyatakan apa yang aku dan hatiku rasakan.
Kamu memang satu-satunya wanita yang dapat meluluhkan dinginnya hatiku tanpa harus menghancurkannya dengan palu, kelembutanmu membuat aku sadar bahwa aku tak bisa hidup tanpa cinta. Dan aku juga sadar bahwa kamulah cinta yang dikirim Tuhan untukku, yang selama ini aku tunggu-tunggu.
Di hatiku hanya ada kamu, selamanya tanpa ada yang bisa mengubahnya kecuali Tuhan telah berkehendak berbeda.

Yang selalu menantimu, 26 Juli 2006
Ferly
@@@
Aku menyimpan kembali kotak surat cinta dari Ferly, aku tidak paham kenapa Ferly tidak mengatakan apapun kepadaku kalau dia memang menyukaiku. Padahal aku sengaja memilih SMA yang tidak jauh dari SMPku dulu supaya aku bisa bertemu dengan Ferly jika laki-laki itu benar ingin mencariku, aku dulu seperti orang bodoh yang menunggu sesuatu hal yang kuanggap mustahil.
Faldin masuk kedalam ruanganku dengan wajah yang lebih ceria dari kemarin tepat ketika aku selesai menyimpan kotak surat Ferly, dia lagi-lagi membawa segelas jus alpukat kesukaanku karena dia tahu kalau aku selalu menyukai jus alpukat buatannya itu.
“May, berikan jawaban secepatnya ya. Dan aku harap jawabannya ‘bukan’ tidak,” ucapnya setelah meletakkan jus alpukat itu di mejaku, dia kemudian cepat-cepat menyingkir dari hadapanku.
Aku mengerutkan dahi bingung, “ada apa dengan orang itu?”
Aku menyeruput jus buatan Faldin dengan lebih wajar, tidak kesetanan seperti kemarin. Apalagi di hadapanku masih ada pekerjaan yang melambai-lambai untuk segera diselesaikan.
Aku menyeruput jus yang hanya tinggal sedikit dengan agak kuat, seraya bangkit untuk membawa gelas kosong itu kembali ke dapur, namun aku mendengar bunyi aneh dari dalam gelas. Aku melongok dan melihat benda kecil bulat mirip donat berwarna perak dan berhias berlian. Cicin?
Aku mengambil cincin itu dengan sedotan, “apa milik Faldin yang jatuh ya?” Aku membersihkan cincin itu dengan tissue dan hendak mengembalikannya kepada Faldin, namun tiba-tiba aku ingat ucapan Faldin ketika memberikan segelas jus alpukat itu kepadaku, aku langsung mendekap mulutku tak percaya, “Faldin melamarku?”
@@@
Sudah satu bulan sejak Faldin melamarku diam-diam, aku belum memberikan jawaban apapun. Namun, aku menjadi ragu laki-laki yang usianya lebih tua 5 tahun dariku itu benar-benar serius melamarku atau tidak, pasalnya dia bersikap seolah-olah tidak pernah ada kejadian itu. Kenapa diusianya yang hampir memasuki kepala tiga tingkahnya masih seperti anak-anak?
Arghhh, apa-apaan Faldin itu? membuatku jadi kesal saja. Dia itu berniat melamar seorang gadis atau tidak? Kalau iya kenapa dia mendiamkanku setelah memberikan sebuah cincin beserta pertanyaan yang harus kujawab ‘iya’.
Tanpa sengaja aku berpapasan dengan Faldin yang hendak keluar dari kafe sementara aku akan masuk ke dalam kafe.
“Hai, Maysa...” sapanya riang.
“Ng... boleh aku bertanya sesuatu?” ucapku membuatnya urung keluar, dia mengikutiku duduk di salah satu meja kafe. Suasana kafe yang lengang di jam istirahat, membuatku leluasa mengatakan apapun kepada laki-laki yang kini duduk di hadapanku.
“Ya, kamu mau bicara apa?” Faldin menatapku dengan matanya yang indah. Sudah kuakui sejak pertama kalau Faldin adalah laki-laki tampan dan mempesona bahkan melebihi Ferly.
Aku mengeluarkan kotak kecil yang berisi cincin berlian milik Faldin, “apa yang harus kujawab dengan ini?” Aku menyodorkan kotak itu.
Faldin tampak bingung. Namun, dia segera memahami maksudku ketika dia membuka kotak itu, “ng... bagaimana ya?” dia menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak bermasalah sama sekali, dia hanya gugup. Ha? Gugup? Sejak kapan Faldin bisa gugup di hadapanku? Orang yang selalu menjadi korban keusilannya, yang membuatku tidak pernah mau memanggilnya dengan sebutan Kakak atau Mas seperti yang kulakukan kepada adiknya, Mbak Genie.
“Hei, kamu tahu dengan jelas bagaimana perasaanku, atau kamu pura-pura tidak tahu?”
“Tidak, emm… ya, aku benar-benar tahu. Aku bisa tahu hanya dengan menatap matamu,” balasnya membuatku skakmat, tidak bisa membantah lagi kalau laki-laki di hadapanku itu memang pintar merayu.
“Memang kapan kamu menatap mataku?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari Faldin yang memalingkan wajah.
“Sekarang,” ucapnya sambil menatap lurus mataku, aku belum sempat mengelak sama sekali. Dia menjatuhkanku dengan mudah, oh tidak!!
Aku menghela napas panjang, “lalu apa yang ingin kamu dengar dariku sekarang?”
Faldin tersenyum lembut, mata kami masih saling berpandangan, “katakan apa yang ingin hatimu katakan, jangan pernah tutupi apa yang harus menjadi kenyataan.”
“Oke, sepertinya kamu lebih memahami apa yang harus aku katakan daripada diriku sendiri,” ungkapku seraya bangkit.
“Maksud kamu?” dia menarik tanganku supaya aku tidak berjalan meninggalkannya.
“Walaupun saat ini aku pergi darimu, hatiku sudah milikmu,” ucapku lalu benar-benar pergi, pekerjaan masih menumpuk di mejaku. Aku mendengar dia bersorak-sorak sendiri, aku lega akhirnya dapat menemukan laki-laki baik seperti permintaan terakhir Ferly. Yah, walaupun Faldin agak usil, tapi dia adalah laki-laki bertanggung jawab dan mampu menjaga hatinya.
“Maysa! Thank you! I love you, Maysa!” teriaknya sambil berjingkrak-jingkrak ala anak kecil, membuatku mau tidak mau terkikik geli.
Faldin sepertinya mengurungkan niatnya untuk keluar kafe karena kudengar suaranya yang sedang menceritakan kejadian tadi kepada adiknya di ruangan sebelah yang hanya berbatas tembok dengan ruanganku. Aku dapat mendengar dengan jelas kalau Faldin berkata, “aku akan menyusulmu, Gen. Aku tidak akan menjadi perjaka tua seperti yang kamu duga!”
Hahaha, dasar Faldin! Di balik sikapnya yang dewasa dan bijak, dia selalu bersikap kekanak-kanakan. I think I will happy meskipun cinta pertamaku telah tiada. Cinta tidak butuh waktu untuk mencari kebahagiannya, karena cinta datangnya dari Yang Kuasa, kita tidak bisa menolak kedatangannya dan tidak bisa mengusirnya walaupun dengan memaksanya.
The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar