Jumat, 23 Januari 2015

[Cerpen] Takdirmu Bukan Bersamaku



Takdirmu Bukan Bersamaku
By: Miss Dhe


Dedaunan kering itu beterbangan seiring dengan berhembusnya angin, gadis berkerudung ungu bernama Adira yang kusyu’ membaca buku di bawah pohon itu seolah tidak peduli dengan dedaunan yang menjatuhinya. Fokusnya baru teralihkan ketika dering ponselnya terdengar.
Luthfi is calling.
Adira menghela napas panjang sebelum menekan tombol ‘yes’ di ponselnya.
“Halo, assalamu’alaikum….”

“…”
“Iya, Mas. Sudah kuambil,” gadis itu melirik tumpukan undangan yang teronggok di sampingnya.
“…”
“Tidak apa-apa, Mas Luthfi ‘kan sedang banyak pekerjaan dan kebetulan aku yang senggang,” sahutnya lagi berusaha untuk tetap menstabilkan suaranya.
“…”
“Iya, aku segera pulang.”
“…”
“Iya.”
“…”
“Wa’alaikumsalam…” Adira kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas lalu mengemasi barang-barangnya, tidak lupa undangan pernikahan yang baru saja dia ambil dari percetakan. Di mana dalam undangan itu terdapat dua nama mempelai yang tercetak dengan huruf perak.
Luthfi Kafabi & Adira Salsabila
‘Ya Allah jangan… jangan biarkan perasaan ini terus berlanjut. Ajari aku menerimanya, supaya tidak ada yang terluka,’ bisiknya dalam hati kala membaca namanya menjadi salah satu mempelai dalam undangan tersebut. Bukan Adira tidak menginginkan pernikahan yang disiapkan orang tuanya tersebut, hanya saja gadis duapuluh tiga tahun itu perlu waktu untuk menumbuhkan perasaannya terhadap Luthfi. Waktunya masih dua bulan lagi untuk mempersiapkan segala hal pra-pernikahannya dengan Luthfi, laki-laki baik-baik dari keluarga baik-baik pula yang menjunjung komitmen kejawennya dalam menentukan pasangan bagi putra tunggalnya yaitu bibit, bebet, dan bobot.
^^^
“Fahmi? Kamu di sini?” suara Adira mengejutkan laki-laki bertubuh tegap yang tengah mengamati ikan peliharaan Ayah Adira di kolam depan rumah. Senyum khasnya yang selalu Adira sukai tersungging begitu saja menyambut kedatangan gadis yang akan segera melepas masa lajangnya itu.
Fahmi mengangguk, “Bulek memintaku mengantarnya, katanya mau kondangan,” sahutnya tanpa mengenyahkan senyumannya.
Baru dari mana?”
“Hhe?” mata Adira membulat, lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan basa-basi Fahmi. Padahal biasanya dia akan segera bercerita panjang lebar kepada laki-laki yang sejak SMA menjadi teman berceritanya itu. Tapi, kali ini pertanyaan itu benar-benar sedang tidak ingin dia dengar dari Fahmi.
“Fahmi, ayo,” suara Ibu Adira menginterupsi kecanggungan yang tercipta diantara Adira dan Fahmi. Gadis itu menghela napas lega, setidaknya kedatangan Ibunya menyelamatkan dirinya dari pertanyaan Fahmi yang seharusnya menjadi pertanyaan yang biasa dia dapatkan.
“Kamu sudah pulang? Baguslah, kamu masak untuk nanti malam ya. Ibu kondangan dulu, ayo kita berangkat,” Ibu Adira memberi instruksi yang segera dipatuhi Fahmi maupun Adira.
“Assalamu’alaikum…” seru Fahmi sebelum dia melajukan mobilnya meninggalkan Adira yang masih berdiri terpaku di depan rumahnya bersama perasaannya yang sulit dia definisikan.
“Wa’alaikumsalam,” sahut Adira setengah berbisik. Indera penglihatannya masih tertarik dengan mobil berwarna silver yang mulai menghilang di jalanan.
‘Dia laki-laki yang baik, aku yakin dia akan mendapatkan gadis yang jauh lebih baik dariku. Dan dia… bukan jodohku,’ Adira membalikkan badannya kemudian masuk ke dalam rumahnya yang entah mengapa tiba-tiba terasa hampa.
^^^
Khoirul Fahmi.
Nama itu tertera di barisan paling atas dalam susunan kepanitiaan acara pernikahannya, kaki Adira lemas mengetahui kenyataan itu. Selama ini dia berusaha untuk tidak melibatkan Fahmi secara langsung dalam acara pernikahannya, tanpa bisa dipungkiri Adira tahu kalau rasa itu masih ada di hatinya maupun Fahmi.
“Kenapa harus Fahmi, Bu?” Tanya Adira malam itu ketika keluarganya selesai makan malam bersama seperti biasa.
“Fahmi anak yang rajin juga pintar, Ibu percaya padanya. Lagipula dia orang yang paling dekat denganmu,” sahut Ibunya kemudian berlalu, membawa serta piring-piring kotor ke dapur untuk dicuci.
‘Justru karena Fahmi orang terdekatku selama ini,’ lagi-lagi Adira hanya bisa berbisik dalam hatinya tanpa bisa menyuarakannya. Fahmi, laki-laki itu adalah laki-laki pertama yang membuat Adira malu terhadap kerudung yang dipakainya. Bagaimana tidak? Laki-laki itu dapat meruntuhkan pertahanan yang telah Adira jaga baik-baik selama hidupnya hingga rasa lembut nan menggelitik itu hinggap padanya.
Adira menghembuskan napas panjang, “Astaghfirullahaladzim…” ucapnya berulang kali. Dia harus memantapkan hatinya, dia sadar cobaan ketika menuju pelaminan memanglah berat. Banyak hal tidak terduga yang hadir dan mencoba menggoyahkan kemantapan hatinya. Gadis itu sadar harus kuat dan tidak terjerumus dalam pesona yang hanya mengandalkan syahwat semata karena dirinya akan dikuasai nafsu. Adira tidak ingin menyakiti siapapun termasuk Luthfi dan juga Fahmi tentunya.
 ^^^
Untaian kata-kata sakral itu terucap dari mulut Luthfi dengan lancar tanpa pengulangan. Adira menghela napas panjang seiring air mata yang mengalir di pipinya, hatinya semakin diyakinkan bahwa Fahmi. Teman baiknya sejak dulu bukanlah jodohnya. Adira hanya mampu mengintip dari balik jendela kamarnya di lantai dua ketika ijab kabul itu diucapkan Luthfi yang kini telah sah menjadi suaminya.
Adira menyeka air matanya seraya menundukkan kepalanya, ‘Ya Allah... teguhkan hatiku. Jangan sampai aku goyah dan mengingkari suratan takdir yang telah engkau tetapkan. Inilah jalan yang harus aku tempuh, Ya Allah...’
“Aku rela kamu bersanding dengan dia, aku tidak akan pernah mengungkit semua yang pernah kita lalui dulu,” bisik sebuah suara yang seketika membuat Adira terisak. Bagaimana tidak? Kalimat itu keluar dari mulut Fahmi yang selama ini hanya diam. Yang awalnya Adira kira sebagai bentuk ketidakpedulian, tapi ternyata Fahmi hanya tidak ingin Adira terlalu memikirkan perasaannya dan tetap melanjutkan perjodohan.
“Dia telah berjanji di hadapan orang tuamu dan yang terpenting dia sudah berjanji di hadapan Tuhannya kalau dia akan menjagamu dan tidak akan menyakitimu,” Adira merasakan bahunya bergetar mendengar ucapan Fahmi yang sebelumnya Adira kira tidak akan pernah Fahmi ungkapkan.
Seketika Adira membalikkan badannya dan menatap Fahmi ketika merasakan bahunya basah, mata bulatnya membesar melihat bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang, “Fahmi?”
Fahmi tersenyum menenangkan, walaupun tidak dapat dielakkan kalau matanya telah basah oleh air mata, “aku baik-baik saja, apapun yang terjadi nantinya kamu harus yakin kalau inilah jalan yang benar. Allah tidak akan memberikan apa yang tidak kita butuhkan ‘kan?”
“Hmm, saatnya aku pergi. Dan... selamat atas pernikahanmu semoga hubungan kalian barokah sampai akhirat nanti, assalamu’alaikum,” pamit Fahmi kemudian berlari meninggalkan gadis yang entah sejak kapan selalu dipikirkannya, sebelum berita tidak sedap menghampiri. Membiarkan sesak memenuhi dadanya dengan menikmati sensasi perih pada tiap helaan napasnya.
‘Aku tidak menyesal, aku tidak menyesal Ya Allah...’ ucap Fahmi dalam hati pada tiap langkahnya. Pasalnya, jika saja dia lebih dulu mengatakan pada orang tua Adira bahwa dia menyukai anak gadis mereka, mungkin saat ini yang bersanding dengan Adira adalah dirinya.
‘Ya Allah, Ya Rabb... jangan sampai aku menjadi putus asa dan kufur akan nikmat-nikmat-Mu selama ini... mungkin hati ini terluka, namun aku tidak ingin hanya karena cintaku pada seorang gadis aku mengorbankan cintaku pada-Mu... aku ingin hanya mencintai-Mu, bantu aku Ya Rabb...’ bisiknya lagi tanpa mampu membendung air mata yang telah menganak sungai di pipinya.
‘Aku. Khoirul Fahmi, bukanlah jodoh gadis yang begitu aku cintai yaitu Adira Salsabila yang kini telah halal bagi laki-laki yang bahkan selalu bersamaku disetiap hembus napasku. Luthfi Kafabi, sahabatku,’ Fahmi menjatuhkan diri di atas sajadah di kamarnya, air matanya terus mengalir. Mengadukan kesedihan kepada Sang Penciptanya.
Walaupun perih, takdir ini telah menjadi mubram dan sebagai makhluk-Nya Fahmi tidak memiliki daya untuk merubahnya.
~The End~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar