Jumat, 30 Januari 2015

[Cerpen] Tulang Rusuk Ini, Milikmu!

Tulang Rusuk Ini, Milikmu!
By: Miss Dhe
Hufft…
Namanya terus saja terngiang-ngiang di kepalaku, entah sudah berapa lama hal ini terjadi. Menolak berhubungan serius dengan beberapa laki-laki yang mendekatiku hanya karena penantian ini. Tapi aku sama sekali tidak menyesal, buat apa menyesal? Toh aku sudah menjalaninya beberapa tahun terakhir ini.
Akmal. Syifa’ul Akmal.

Laki-laki yang hanya meninggalkan senyuman manisnya sebagai kenang-kenangan sebelum dia pergi, membuatku ragu apakah dia benar-benar akan kembali. Bahkan jika dia kembali apakah dia akan tetap seperti dulu?
Aku tidak tahu.
TTT
Entah berapa banyak buku diary yang kuhabiskan untuk menuliskan namanya, sepertinya aku berubah terobsesi pada laki-laki tinggi itu. Ya Allah… apa ini salah? Aku sama sekali tidak menghiraukan Azmi yang jelas-jelas telah orang tuaku pilih untuk mendampingiku, sementara Akmal hingga detik ini belum pernah memberiku kabar sejak sepuluh tahun lalu pamit mondok (menuntut ilmu di Pondok Pesantren) di Kediri.
Orang tuaku telah yakin dengan Azmi sebagai calon menantu mereka, sementara aku belum bisa menerima bahwa bukan Akmalseperti yang aku harapkan sejak duluyang menjadi laki-laki baik pendamping hidupku.
“Orang tua Azmi akan kemari besok malam, Ayah sudah yakin dengan dia. Berkali-kali istikharah, hanya nama Azmi yang muncul. Bukan laki-laki lain,” ungkap Ayah yang membuat lututku lemas. Apakah ini pertanda bahwa Akmal bukanlah jodoh yang Engkau siapkan untukku Ya Allah?
Aku menatap Ayahku ragu, hatiku belum bisa menerima Azmi sebagaimana keinginan Ayahku. Terlalu lama aku berkutat dengan penantian tidak berujung, menunggu laki-laki yang kusangsikan mengetahui perasaanku.
 Namun, pada akhirnya aku menganggukkan kepala patuh. Hati ini tidak kuasa untuk menolak permintaan kedua orang tuaku. Mereka adalah orang-orang yang paling kupercayai, setiap hembusan napasku pun yakin mereka akan memberikan yang terbaik padaku. Terlepas dari perasaan kecewaku karena secara tidak langsung telah menutup harapanku untuk bersanding dengan Akmal.
TTT
Mengapa hati ini belum yakin Ya Allah? Tanggal pernikahan itu telah ditetapkan, namun aku belum bisa menerima bahwa mempelai laki-lakiku bukan Akmal. Laki-laki yang memenuhi diaryku sejak lama dan laki-laki pertama yang membuatku terpesona akan senyumannya.
Aku masih bimbang dengan keputusan yang telah kubuat untuk menyetujui keputusan kedua orang tuaku. Walaupun aku dan Azmi cukup dekat selama ini, tidak berarti aku akan mudah menerimanya kelak jika nama Akmal masih berputar-putar di kepalaku.
Hmm, walaupun hati ini belum mampu menerima kenyataan yang akan kuhadapi, aku lebih tidak mampu untuk mengingkari keputusan orang tuaku yang telah mempersiapkannya dengan matang. Nama Azmi selalu hadir dalam istikharah kedua orang tuaku, terlepas dari bagaimana hati kedua orang tuaku kala itu. Apakah mereka benar-benar meminta tanpa memihak pada laki-laki manapun atau memang hanya Azmi yang mereka inginkan. Aku tidak tahu. Yang aku tahu tiga bulan yang akan datang, statusku akan berubah menjadi Nyonya Azmi.
TTT
“Kamu tidak menginginkan hubungan ini?” suara Azmi menginterupsi lamunanku usai resepsi pernikahan ketika kami duduk berdampingan di ranjang pengantin yang terdapat bunga-bunga plastik berwarna putih dan selambu berwarna baby pink sebagai hiasan. Warna yang sebenarnya kurang aku gemari sebagai warna barang-barangku.
Kontan aku menatap laki-laki yang kini telah sah menjadi mahromku. Tanpa kusadari waktu tiga bulan terlampaui begitu cepat.
Aku tersenyum lembut kemudian menyentuh tangannya, “mungkin aku egois, tapi aku mohon jangan mengungkit bagaimana perasaanku. Yang harus kamu tahu, aku seutuhnya telah menjadi milikmu.”
Azmi menghela napas kemudian membalas genggaman tanganku dengan tangannya yang masih bebas, “sebenarnya siapa laki-laki itu? Supaya aku lebih lega, please...”
“Kamu juga mengenalnya. Memang laki-laki itu yang membuatku ragu, tapi aku tetap memilihmu pada akhirnya. Laki-laki itu... Akmal,” ungkapku yang membuat mata Azmi sedikit melebar.
“Akmal?” aku mengangguk, aku yakin nama itu pasti tidak asing bagi Azmi. Bagaimana tidak? Mereka besar bersama. Bermain kelereng bersama, membolos sekolah bersama, hingga mengerjai guru baru bersama sebelum keduanya berpisah ketika lulus SMP. Akmal memilih untuk menuntut ilmu di pesantren, sementara Azmi menetap dan melanjutkan sekolah di SMK yang hanya ditempuh setengah jam perjalanan dengan sepeda motor dari rumahnya.
TTT
Malam itu masih sama seperti malam sebelumnya, Azmi masih tidur dengan memunggungiku. Membuatku bertanya-tanya, apakah dia tidak menerimaku karena kejujuran yang aku ungkapkan kemarin malam?
Kusentuh bahunya lembut mencoba membuatnya untuk berpaling padaku. Laki-laki itu menoleh kemudian membalikkan badannya menghadap padaku.
“Ada yang ingin kamu katakan?” tanyaku membuka percakapan, aku tidak ingin masalah ini berlarut-larut.
Azmi menatapku dengan ragu, seolah ada yang ingin diungkapkan namun begitu sulit. Aku menatap tepat di manik mata gelapnya, meyakinkan laki-laki dihadapanku ini untuk membuka suara. Lebih baik semuanya diselesaikan segera supaya kami menjadi sepasang suami istri normal tanpa bayang-bayang masa lalu.
“Seharusnya aku paham, tapi ternyata aku belum terlalu mengenalnya. Aku selalu dititipi sepucuk surat untuk orang yang tidak pernah aku tahu, aku pikir itu hanya cinta monyet yang akan dilupakan setelahnya. Dia selalu berkata aku juga mengenalnya, bahkan aku begitu mengenalnya. Dia memberitahuku bahwa orang itu selalu berada di dekat kami, hanya saja berusaha tidak terlihat supaya dengan leluasa mengetahui gerak-gerik kami. Dia tahu hal itu tapi membiarkannya, karena jika dia menanggapi, dia takut jika orang itu malah akan pergi menjauh.”
Aku mengernyit, tidak paham dengan kata ganti ‘dia’ dan ‘orang itu’ yang dipakai Azmi. Sebenarnya ke mana arah pembicaraan suamiku ini? Tanpa kusangka matanya mengeluarkan cairan bening yang seketika membuatku terperanjat, salah apakah aku hingga membuatnya menangis?
“N-R. Najwa Renata, seharusnya aku bisa berpikir sejauh itu. Tapi nyatanya aku tidak bisa. Dia juga menyimpan perasaan yang sama untukmu sejak lama, seharusnya aku mengatakannya padamu. Tapi aku benar-benar tidak tahu, inisial NR disetiap suratnya padaku merujuk padamu. Maafkan aku, Ren...”
Air matanya benar-benar tidak dapat dibendung, hingga membuat sungai kecil di wajahnya yang membuatku berdesir sejak dia mengucapkan janjinya di hadapan Tuhan.
Kutangkup wajahnya dengan kedua tanganku kemudian berucap dengan mantap, “mungkin aku memang kecewa mendengar ceritamu, seharusnya aku bisa bersama dengan Akmal jika kamu menyadarinya sejak awal. Tapi... apakah aku tidak terlalu kufur? Tuhan telah menggariskan takdirNya, daripada aku menyesali masa lalu lebih baik aku bersyukur karena pemilik tulang rusuk ini adalah laki-laki baik sepertimu.”
Matanya masih menatapku sendu, “aku akan memberikanmu waktu untuk memikirkan ulang ucapanmu itu, aku ingin kamu membaca surat terakhir yang dia titipkan padaku. Aku belum mebaca surat terakhirnya karena tanggalnya sama dengan tanggal pernikahan kita, aku terlalu terlarut dalam suasana waktu itu.
Setelah mengucapkan itu Azmi bangkit kemudian mengambil sebuah amplop di meja nakas di samping tempat tidur kami, setelah menimbangnya beberapa detik, amplop itu diserahkannya padaku.
“Apapun yang kamu putuskan nanti, aku akan menerimanya. Pegang janjiku,” cetusnya kemudian turun dari tempat tidur, menuju sofa di sudut ruangan dan berbaring di sana.
Mengapa dia meninggalkanku di tempat tidur ini sendirian? Bahkan kami belum menunaikan kewajiban kami sebagai suami-istri sejak ijab qobul yang dia ucapkan kemarin lusa. Aku menghela napas lalu fokus pada amplop di tanganku. Mungkin Azmi juga membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri, aku tidak mungkin menyalahkannya. Aku tidak pernah tahu bagaimana perasaan Akmal padaku sebelum Azmi memberitahuku, Azmi juga baru menyadari siapa pemilik inisial NR yang selalu menjadi subjek dalam setiap surat Akmal yang dititipkan kepada Azmi.
Terlebih lagi Akmal, laki-laki itu sama sekali tidak mengetahui bagaimana perasaanku padanya sampai aku menjadi milik orang lain. Hati ini gundah, namun entah mengapa seolah aku telah menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalaku sejak kemarin. Semoga inilah yang terbaik untuk kami bertiga, bismillahirrohmanirrohim...
TTT
Malam ini aku sengaja berdandan ke salon untuk menyambut Azmi pulang dari kerja, cuti kerjanya berakhir hari ini. Sudah kupersiapkan semua untuk menyambut malam yang kunanti ini, Azmi harus tahu apa keputusanku.
Ibu hanya menatapku heran ketika memasuki rumah dengan make-up yang tidak biasa, tapi tidak berkomentar apa-apa. Hanya mengulum senyum kemudian berbisik-bisik dengan Ayah yang duduk menonton televisi di ruang tengah.
“Assalamu’alaikum…” suara Azmi terdengar limabelas menit setelah aku menyelesaikan persiapan untuk sedikit mempercantik kamar. Semua bunga-bunga plastik sudah kusimpan dan mengganti selambu menjadi berwarna putih. Bed cover juga telah kuganti dengan warna yang lebih gelap, kontras dengan selambu yang kupasang. Salah satu dinding di sisi kamarku telah kugantung frame dengan foto pernikahan kami.
Cklek.
Pintu kamar kami terbuka. Aku sudah duduk berselonjor di tempat tidur dengan buku di tanganku, rambut panjangku yang sudah aku creambath dan blow di salon langgananku tadi kubiarkan tergerai. Sedikit kutangkap tatapan terkejut dari Azmi, namun wajah lelahnya aku yakini segera leyap setelah melihat bagaimana penampilanku kali ini. Bahkan nuansa kamar yang telah berubah tidak disadarinya.
“Baru pulang? Kenapa terlambat? Aku sudah menunggumu daritadi,” aku menaggalkan bukuku di atas meja nakas kemudian menghampiri Azmi yang berdiri mematung di depan pintu kamar kami yang telah tertutup kembali.
Kubantu dia meletakkan tasnya ke sofa dan kulepaskan dasi serta kancing kemejanya secara perlahan. Sementara itu tatapannya kukunci dengan tatapanku.
“Sebaiknya kamu langsung mandi, sudah aku siapkan air hangat,” kudorong bahunya supaya memasuki pintu di salah satu sisi kamar kami.
Ketika Azmi menghilang di balik pintu kamar mandi, aku hanya tertawa geli. Mimik wajah Azmi benar-benar seperti orang bodoh. Tapi, ini memang rencanaku. Malam ini tidak boleh dia tidur memunggungiku atau malah meninggalkanku untuk tidur di sofa lagi. Kalau sampai dia kembali tidur di sofa itu, aku jamin besok pagi aku akan membuang sofa itu jauh-jauh.
TTT
“Ada yang ingin aku bicarakan padamu,” ucapku setelah Azmi menyelesaikan ritual mandi malamnya, dan telah duduk di tepi tempat tidur dengan rambut setengah basah.
Aku menggeser posisi dudukku yang segera diisi oleh Azmi, aku menatapnya dengan lembut sembari tersenyum, “waktu itu kamu berkata memberiku waktu untuk memutuskan bukan? Malam ini aku ingin memberitahumu mengenai keputusanku.”
“Kemarilah, aku ingin kamu mendengar apa yang aku katakan dengan baik,” kutepuk pangkuanku yang segera dipahami Azmi. Suamiku merebahkan diri dan meletakkan kepalanya dipangkuanku dengan nyaman. Tanpa kata, tanpa ingin menyela apa yang telah aku susun. Mungkin lelah, mungkin pasrah. Aku tidak tahu.
“Satu hari ini aku sudah memikirkan apa keputusanku sambil membenahi kamar kita, dan aku mohon hargai keputusanku seperti yang kamu janjikan,” aku memandang mata tegasnya yang juga menatap mataku, supaya suamiku tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya tanpa kembali ragu.
“Keputusanku adalah… berada di sini bersamamu. Membangun asa keluarga kecil kita untuk entah berapa tahun ke depan, aku tidak ingin menjadi manusia tidak tahu bersyukur dengan meninggalkan suami yang telah aku miliki untuk meraih cinta lain. Bagaimana mungkin aku menyakiti dua hati sekaligus? Hatimu dan… hatiku sendiri, aku…”
Ucapanku terputus ketika Azmi menubrukku dengan pelukan protektifnya, “cukup. Jangan lanjutkan. Aku percaya padamu. Maafkan aku.”
Pelukan itu terjadi cukup lama, aku membiarkan Azmi menghirup sebanyak-banyaknya aroma sampo yang menyeruak dari rambutku. Sementara aku menikmati detak jantungnya yang seolah seirama dengan detak jantungku. Kata orang, jodoh kita memiliki irama jantung yang sama dengan jantung kita bukan? Jadi aku tidak salah mengambil keputusan.
“Aku mencintaimu…” bisik Azmi lirih yang kusambut dengan helaan napas lega. Ini yang kutunggu sejak Azmi mengucapkan iab qobulnya, hatinya mencintaiku dengan sebenar-benarnya. Bukan karena perjodohan di antara kedua orang tua kami, dan itu melegakan.
“Aku juga mencintaimu, entah sejak kapan aku merasakannya. Tapi, jangan ragukan aku lagi. Tulang rusuk ini telah sepenuhnya menjadi milikmu, takdir yang telah mempertemukan kita… jadi jangan ingkari takdir ini. Apapun yang terjadi sebelumnya memang harus terjadi,” ucapku yang segera dibalas kecupan lembut di pipiku.
Kami berdua melepas pelukan kami dan saling memandang, lalu tertawa geli bersama. Konyol memang. Tapi mungkin jalan inilah yang harus kami lalui untuk mencapai rumah tangga kami. Mungkin kami akan menyakiti sebuah hati. Milik Akmal. Tapi, aku tidak akan menyesali keputusanku. Bagaimana mungkin aku menyesal? Suamiku merupakan anak baik dan laki-laki baik pula, mungkin bukan Akmal seperti yang aku inginkan. Namun, dialah pemilik tulang rusuk ini.
Takdir ini telah menjadi mubram dan sebagai makhluk-Nya aku dan Azmi tidak memiliki daya untuk merubahnya kecuali dengan bantuan sifat rahmanNya.
TTT
Untuk yang terkasih, Najwa Renata (NR)
Mungkin ini adalah surat terakhir yang aku titipkan kepada Azmi, karena kamu kini telah menjadi bidadari untuk laki-laki lain yang lebih berani untuk meraih cintamu. Maafkan aku yang sampai detik ini tidak mampu menunjukkan seujung hidung pun di hadapanmu.
Mungkin aku terlalu percaya diri yang menganggapmu akan terus menungguku hingga aku menemui orang tuamu, tanpa memikirkan kemungkinan lain bahwa akan ada laki-laki lain yang lebih dulu menemui orang tuamu.
Hidup, mati, rezeki, dan jodoh merupakan rahasia Sang Pemilik Arsy.
Aku lupa satu hal itu ternyata.
Aku di sini kali ini sebagai teman yang akan selalu mendoakanmu, hidup bahagialah dengan laki-laki itu. Bahagiakanlah suamimu, jagalah rahasianya, dan turutilah permintaannya. Aku yakin kamu adalah gadis terbaik yang dapat mendampinginya.
Namun maafkan aku karena hanya melalui surat ini aku mengatakan doa-doaku, mungkin suatu saat nanti ketika hati ini telah sembuh aku akan mengatakannya langsung padamu dan suamimu, Mahalul Azmi.
بارك الله لكما وبارك عليكماوجمع بينكما في خير
Dari yang selalu mendoakanmu,
Syifa’ul Akmal.
TTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar