Selasa, 19 Mei 2015

[Cerpen] Kian

Kian
By Miss Dhe
Bukan! Bukan jajaran gedung yang berdiri angkuh itu yang menjadi objek penglihatan Meta di tengah kesunyian taman kota yang  masih basah akibat hujan siang tadi, melainkan sesosok laki-laki yang entah sudah berapa lama bersemayam di pikirannya. Mungkin malah sudah merambah hatinya. Senyum itu terkembang dari bibir tipisnya.

“Kamu bahagia?” gumamnya yang sebenarnya ditujukan untuk laki-laki di seberang sana. Angin berhembus menerbangkan rambut hitam sepunggung yang sengaja dibiarkan tidak terikat, seolah ingin menyampaikan pertanyaan Meta kepada laki-laki itu.
Setelah dirasa cukup mengamati laki-laki di seberang, Meta bangkit dan melangkahkan kakinya meninggalkan taman kota yang mulai ramai dengan pedagang kaki lima dan pengunjung yang mayoritas berpasangan, entah suami-istri muda atau pun pasangan kekasih yang menurut Meta tengah mengumbar kemesraan.
***
Laki-laki yang tengah sibuk membaca buku sembari menikmati suasana temaram café itu secara tidak sadar menatap keluar dinding kaca yang langsung menampakkan taman kota. Seolah ada sesuatu yang membuatnya tiba-tiba mengalihkan perhatiannya dari buku yang tengah dia baca. Sesuatu yang menarik, tapi dia tidak tahu apa itu.
Laki-laki itu mengedikkan bahunya tidak peduli dan kembali tenggelam dengan bukunya ketika tidak menemukan siapa pun yang dikenalnya di sana.
***
Meta menyusuri jalan menuju rumahnya dengan senyum terkembang, hari ini dia dapat melihatnya kembali. Sudah hampir satu minggu dia menunggu momen itu lagi. Laki-laki berperawakan tinggi itu berada di tempatnya kembali setelah satu minggu absent.
“Apa kamu melupakan aku?” Tanya Meta pada dirinya sendiri, berharap angin yang berhembus menyampaikannya pada laki-laki itu.
“Tepat tujuh tahun lalu kita bertemu,” pandangan Meta menerawang arak-arakan awan putih yang mempercantik langit biru.
Bibir tipisnya menyunggingkan senyum tulus, berapapun lama dia menunggu dia rela. Meta tidak pernah menyesal memiliki perasaan hangat nan menggelitik itu di hatinya, walau terkadang membuat perutnya teraduk-aduk seiring debaran halus setiap melihat atau membayangkan laki-laki itu. Tidak ada yang lain, hanya laki-laki itu yang mampu memberikan sesasi berbeda kepada Meta. Laki-laki itu tidak dekat, tidak pula jauh. Membuat Meta terkadang bimbang dengan perasaannya.
***
Takdir seolah mempermainkan Meta. Sore itu ketika mendung menggelayuti langit, untuk sekian kalinya laki-laki tinggi berwajah oval yang selalu menjadi objek pengamatannya tidak berada di tempatnya. Meta, untuk pertama kali memberanikan diri memasuki café dan mengedarkan pandangan ke seluruh pojok ruangan untuk mencari keberadaan laki-laki itu.
“Kamu mencariku?” interupsi sebuah suara yang cukup membuat tubuh Meta seketika membeku. Gadis itu memejamkan matanya sejenak sebelum membalikkan badan dan menemukan pemilik suara yang begitu dia kenal.
“Meta?” ucap laki-laki itu tanpa suara, tatapannya menyiratkan ketidakpercayaan atas apa yang dilihatnya.
Kontan Meta menundukkan kepalanya, sama terkejutnya dengan laki-laki yang kini berdiri tepat di hadapannya. Dia masih mengingatku, bisik Meta dalam hati. Tidak ada pembicaraan di antara keduanya untuk beberapa waktu sebelum seorang waitress menanyakan di mana mereka akan duduk.
***
Dan di sinilah keduanya berada, di sudut café yang menjadi favorit laki-laki itu. Sama-sama terdiam dan menyibukkan diri dengan minuman yang mereka pesan.
“Sudah lama tidak bertemu, bagaimana kabarmu?” Tanya laki-laki itu memecah kekakuan yang mereka ciptakan, suasana paling Meta benci namun mau bagaimana lagi? Meta sama sekali tidak bernyali memulai pembicaraan.
“Baik, bagaimana denganmu?” sahut Meta kikuk, hal yang juga dirasakan laki-laki di hadapannya.
Laki-laki itu tersenyum sembari menatap lekat wajah kikuk Meta, “aku juga baik, terlebih hari ini.”
“He?” Meta kontan menatap laki-laki itu dengan terkejut mendengar ucapannya yang menurut Meta ganjil. Mata mereka bertemu, seolah bertukar pengalaman melalui tatapan masing-masing.
“Selama bertahun-tahun aku selalu di sini setiap sore, tapi tidak ada orang yang bisa kuajak mengobrol. Tapi, kali ini berbeda,” ucapnya membuat Meta mengembangkan senyumnya, seperti mendapat lampu kuning dari laki-laki di hadapannya.
Meta hanya diam menunggu apa yang akan keluar dari mulut laki-laki itu, dengan pikiran terfokus hanya pada sosok yang selama ini hanya dilihatnya dari jauh.
“Aku hanya berdiam diri di meja ini, berharap keajaiban datang. Ada seseorang yang menyapaku dan membuatku terbebas dari kekosongan ini… dan penantianku tidak sia-sia. Hari ini aku mendapatkannya karena kamu. Terima kasih banyak, Meta. Benar bukan kalau namamu Meta?” Tanya laki-laki itu memastikan.
Meta terkekeh kemudian mengulurkan tangannya pada laki-laki dihadapannya, “ya, namaku Meta.”
“Kian. Itu namaku,” sahut laki-laki bernama Kian itu seraya menyambut uluran tangan Meta. Senyum terkembang dari bibirnya. Senyum yang sama. Senyum menawan yang meruntuhkan pertahanan Meta dan membuat gadis itu bahkan tidak dapat melupakan Kian selama tujuh tahun ini.
Aku tahu... Kian, karena namamu selalu berputar-putar di kepalaku sejak kamu tersenyum kepadaku tujuh tahun lalu,” Meta tidak menyuarakan sahutannya, lebih baik kenyataan itu dia pendam karena tujuh tahun yang dia lalui telah terbayar hari ini.
The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar