Senin, 23 November 2015

[Review] Sedikit Coretan Tentang “Hanif”

Sedikit Coretan Tentang “Hanif”


Hanif (Dzikir dan Pikir). Saya tidak akan meresensi atau yang lainnya, saya hanya ingin mengungkapkan uneg-uneg yang berloncatan di kepala setelah membaca novel tersebut. Ketika membaca Hanif, yang merupakan buah karya Kak Reza Nufa tersebut membuat saya menganggukkan kepala, tersenyum setuju, tertawa geli, mengernyitkan dahi, dan atau menangis haru.

Hanif memang bukan novel baru, cetakan pertamanya saja tahun 2012. Tiga tahun sudah Hanif lahir di dunia ini dengan membawa idealismenya. Mungkin kalau Hanif benar-benar hidup di dunia ini, sekarang sudah berada di Belanda.
Menurut saya sebagai pembaca yang biasanya lebih tertarik dengan novel romance, teenlit, dan fanfiction, Hanif merupakan novel yang cukup berat untuk otak saya. Bahasa yang dipakai beberapa menggunakan kiasan yang harus saya baca dua kali. Selain itu pada bab-bab awal, Kak Reza seperti membuat sebuah catatan perjalanan dalam kemasan prosa yang membuat saya kurang greget.
Namun, kisah di Pesantren yang diangkat Kak Reza melalui flashback membuat saya tertarik, dan betah berlama-lama membaca tulisannya. Yang awalnya saya kira akan membosankan. Kehidupan seorang mahasiswa dengan basic pesantren baru kali ini saya temui. Kak Reza menceritakan cukup detail apa saja yang dialami di pesantren, yang mana sinkron dengan logika berpikir saya. Beberapa kali saya membaca novel ringan yang berlatar pesantren, tapi saya tidak mendapatkan feel bahwa novel tersebut sedang bercerita tentang seorang santri. Kak Reza berhasil membangun feel yang saya ingin dapatkan saat membaca tokoh dengan latar belakang pesantren. Setelah bagian flashback itulah yang membuat saya begitu tertarik hingga ingin segera menghabiskan novel Hanif dalam satu malam.
Kehidupan pesantren yang tidak banyak orang tahu, menurut saya menarik untuk diceritakan. Tidak masalah dari sudut pandang mana yang akan diambil. Sementara Kak Reza mengambil dari sudut pandang seorang mahasiswa yang pernah nyantri. Orang awam hanya tahu bahwa di pesantren adalah tempat menimba ilmu agama tanpa tahu apa saja yang dilakukan para santri diluar kegiatan mengaji. Dan, Kak Reza menceritakan bagian tersebut dengan apik dan dramatis. Saya menyukai adegan makan bersama di nampan, bermain sepak bola di malam purnama, membicarakan rumor mistis yang tersebar di antara para santri, dan kebersamaan lain yang menurut saya sangat indigenous.
Selain tertarik dengan sudut pandang cerita yang ditampilkan Kak Reza, saya juga tertarik dengan sosok Hanif dengan pemikirannya yang idealis, pemberani, dan kontroversial. Sosok yang cocok menjadi teman diskusi hingga pagi dengan berbagai tema pembicaraan. Pemikiran-pemikirannya yang terkadang nyeleneh menjadi nilai plus seorang Hanif. Penggambaran sosok alumni pesantren yang radikal namun peduli terhadap perkembangan akhlak bangsa.
Meski demikian, Hanif memiliki teman baik yang menurut saya menjadi rem untuk setiap pemikiran skeptisnya. Dialah Idam. Munculnya sosok Idam membuat saya menghembuskan napas karena ada seseorang yang mampu mengimbangi Hanif. Membenarkan opini Hanif jika memang masih dalam line yang Idam pahami dan mendebat ketika pemikiran Hanif mulai melenceng dari pemahamannya. Tidak ada orang lain yang lebih memahami Nanif ketimbang Idam. Sosok sahabat sejati yang dibutuhkan seorang seperti Hanif.
Jika di dunia ini Hanif dan Idam hidup dalam kenyataan, saya akan senang sekali menjadi teman ngobrol mereka. Ilmu pengetahuan dipahami dari angel—sudut pandang yang berbeda. Kritis dan inovatif. Tidak akan ada kata bosan berbincang lama-lama dengan mereka berdua.
Fenomena yang sangat familiar bagi mahasiswa dan masyarakat Indonesia pada umumnya meliputi; Lembaga Dakwah Kampus (LDK), sweeping ketika bulan ramadhan oleh ORMAS tertentu, stigma masyarakat yang masih tabu mengenai pluralitas agama, dan masalah terorisme yang melibatkan mahasiswa bahkan santri. Disikapi Hanif dan Idam dengan pemikiran idealis khas seorang mahasiswa, namun yang berbeda adalah background yang mereka memilki yaitu mengenyam pendidikan pesantren. Sehingga menjadi sesuatu yang menarik hati saya. Meski terkadang agak keluar dari mainstream.
Salah satunya adalah pemikiran Hanif yang terlalu extreme memandang kehidupan dan lingkungannya, seolah hanya dia yang memanggul beban berat masalah agama yang terjadi di Nusantara. Apalagi ide mengenai penghapusan agama, walau Hanif mengatakan itu opsi paling terakhir untuk menyelamatkan akhlak manusia. Jika saya menjadi teman Hanif, mungkin saya adalah salah satu orang yang sering berdebat dengannya (Hehehe…). Namun, kehadiran Idam yang tetap menggandeng nilai-nilai konservatif membuat saya kembali menghela napas lega. Idam lagi-lagi membuat saya menurunkan ketegangan di kepala saya.
Kembali pada cerita, karena kalau membicarakan Hanif dan Idam akan tiada habis-habisnya. Saya sangat mengidolakan pemikiran mereka berdua, hehehe.
Menurut saya, tempo Kak Reza menurun disaat bercerita Hanif kembali pulang ke rumah. Yaitu bagian dia bertemu dengan Ibu dan mengira Bapak telah meninggal akibat ucapan Ibu yang belum selesai. Adegan tersebut seolah menurunkan tempo saya ketika membaca. Mungkin niatnya untuk memberi kejutan, tapi menurut saya… menurut saya lho… tidak perlu. Adegan-adegan sebelumnya sudah sangat bagus untuk diturunkan temponya dengan adegan tersebut.
But, overall novel Kak Reza Nufa tersebut keren! Dan yang tidak kalah penting novel tersebut menginspirasi saya. Tidak menyesal saya telah ‘dipaksa’ membeli novel tersebut waktu itu. So, bagi teman-teman sekalian yang mungkin membaca tulisan saya (yang apalah-apalah ini), jangan sampai tidak membaca salah satu novel karya Kak Reza Nufa tersebut. Bukan promosi atau apa, tapi pemikiran-pemikiran Kak Reza yang disampaikan lewat sosok Hanif cukup membuka pikiran saya. Mungkin bisa juga pikiran teman-teman sekalian.

Bagian yang paling saya sukai :
Ucapan Idam tentang pertanyaan dosen dari temannya: “Tuhan ‘kan Maha Bisa. Nah, bisa nggak Tuhan bikin batu yang karena batu itu Dia justru gak bisa lewat?” Hlm. 17
Karena ketika membacanya, saya merasa konyol ada orang bertanya seperti itu. Tapi, tulisan setelahnya membuat saya sadar. Tidak semua orang menerima begitu saja kepercayaan yang diwariskan orang tuanya.
“Mungkin aja Tuhan mampu bikin batu itu, dan Tuhan juga bisa lewat tanpa kesulitan. Ketidakmampuan itu justru ada di kepala kita. Kita gak mampu memahami kedua tindakan itu tanpa bertabrakan.” Hlm. 19

NB (Edisi Curcol):
Saya mau cerita sedikit mengenai asal muasal membeli novel Hanif. Awalnya saya tidak mengetahui tentang novel tersebut. Tapi, karena perbincangan ngalor-ngidul saya dan seorang teman dengan penulis novel Hanif yang tidak lain tidak bukan adalah Kak Reza Nufa, mengenai beberapa hal (perbincangan tersebut terjadi ketika #KampusFiksi 14). Disarankanlah kami membeli novel tersebut, karena menurut Kak Reza ada beberapa bahasan yang setipe. Sehingga saya membeli novel tersebut langsung dari penerbit yaitu DIVA Press.
Ketika saya membaca Hanif, seolah saya sedang mengobrol dengan Kak Reza Nufa, hanya saja dengan kemasan lebih idealis. Hehehe… Dan yang terakhir, Hanif adalah novel pertama yang saya baca yang memiliki daftar bacaan begitu banyak. Keren. Swear! Sekali lagi saya katakan (bukan bermaksud promosi apalagi provokasi) bahwa sebagai mahasiswa dengan idealisme yang sedikit berbeda dari orang lain atau tanpa idealisme sekalipun, perlu membaca novel Hanif. Manfaatnya apa? Lihat saja setelah membaca.
Well, Thanks a lot for Kak Reza Nufa yang telah menulis dan menyarankan saya membaca novel Hanif J.


Semarang, 14 November 2015

3 komentar:

  1. aku lho gak punya novel itu, tp gegara bnyk yg bahas jd pengen baca juga. mungkin krn kamu santri juga, maka kamu jd bner2 masuk ke cerita. btw, hanif itu cowo?

    BalasHapus
  2. hahaha iya cowok, karena menurutku cewek nggak akan seidealis Hanif :P thaks, Nyu

    BalasHapus
  3. aku juga ketularan virus pengen beli sebenernya mbak dat. apalagi diva ngasih diskonnya gak tanggung-tanggung :D. tapi apalah daya, aku memikirkan bujet, saat itu hidupku di jogja masih akan berlanjut beberapa hari kedepan hehe.

    sekarang aku bener-bener....penasaran

    BalasHapus