Surat Cinta Untukku
By: Miss Dhe
Aku
menarik undangan pernikahan dari tumpukan buku di meja kerjaku, tanpa kusadari
air mata menetes dari pelupuk mataku. Semakin lama semakin deras. Bukan karena
undangan itu jelek, desainnya sangat indah, kertas berwarna cream dengan tulisan yang tercetak
dengan warna gold tak lupa aksen
bunga-bunga di tepi kertasnya yang berbentuk menyerupai bingkai, mewah bukan?
Yang
membuat aku menangis adalah nama kedua mempelai yang akan menikah. Mempelai wanitanya adalah
Ayudya Selfi, dia adalah sahabatku semasa SMA. Bukan dia yang menjadi pokok
masalah, melainkan mempelai prianya yaitu Ferly Agasta, pria yang sejak lama
sudah mengsisi penuh rongga-rongga dadaku.
Ceritanya memang agak konyol, tapi
itu benar adanya, aku menyukai Ferly sejak aku kelas VII SMP dan sekarang aku
sudah bekerja di sebuah distro dan kafe yang aku dirikan bersama dua temanku.
Rasa itu terjaga selama 11 tahun lamanya tanpa tersentuh perasaan ingin
berpaling kepada yang lain.
Aku
mengerang pelan sambil menyeka air mataku dengan punggung tangan lalu
menyimpan undangan itu kedalam tasku, besok aku harus tetap menghadiri acara
pernikahan itu walaupun hatiku serasa hancur. Aku sudah menyiapkan kado
terbaik untuk mereka berdua.
“Kamu
kenapa, May?” tanya sebuah suara menyadarkanku.
“Eh,
Mbak Genie. Tidak, aku hanya bingung besok mau pakai baju apa,” balasku berbohong,
mana mungkin aku bingung memilih pakaian untuk menghadiri acara pernikahan
teman. Aku selalu bisa mix and match
pakian untuk tubuhku sendiri walaupun aku minim pengetahuan tentang fashion.
“Butuh
bantuanku?” tawar Mbak Genie seraya duduk di sofa ruanganku, dia memang seorang
desainer sekaligus stylish di distro kami.
“Boleh,
tapi yang simple saja ya, Mbak. Aku
tidak mau terlihat mencolok,” ucapku lalu mengikuti Mbak Genie duduk di sofa,
pekerjaanku sedang tidak banyak maka aku tidak perlu dipusingkan dengan deadline untuk beberapa hari ke depan.
Mbak
Genie mengangguk setuju, sama sekali tidak menaruh curiga padaku yang telah
berbohong padanya.
@@@
Aku
meletakkan kepalaku di meja, sepertinya energiku benar-benar drop hari ini. Kedua
sahabatku yang kuajak makan siang bersama hanya menatapku prihatin.
“Kamu
tetap berangkat besok?” tanya Helen seraya menyeruput jus jeruknya dengan ragu,
tidak tahu apa yang membuatnya ragu padahal biasanya dia rakus.
“Hmm,”
balasku tak bersemangat.
“Kalau
tidak mau tidak perlu berangkat,” timpal Ocha bijak. Hufh, sejak kapan dia
tidak bijak, dia memang selalu bijak.
Aku
mengangkat kepala dan menatap kedua sahabatku tanpa semangat, “aku akan berangkat,
kalian juga’kan?”
Helen
dan Ocha kompak mengangguk.
“Tapi
mungkin aku tidak akan bersama kalian, aku ada meeting dengan klien,” ungkapku lalu meletakkan kepala di meja
lagi.
Kudengar
Helen dan Ocha menghela napas berat, saat ini aku sedang tidak peduli. Hatiku
hancur berkeping-keping hanya karena cinta pertamaku akan menikah, padahal aku
tidak mengenal baik siapa itu Ferly. Namun cinta itu datang tanpa dipaksa dan
tidak mau pergi walau sudah dipaksa-paksa.
@@@
“Ingat
Maysa, umurmu sudah 23 tahun! Kamu harus dewasa!” ucapku sambil memandangi
cermin pagi ini, aku sedang bersiap menghadiri acara pernikahan temanku dengan
cinta pertamaku. Namun tiba-tiba semangatku turun lagi, “seharusnya aku juga
harus menikah, aku tidak mau menikah diusia lebih dari 25 tahun...” keluhku
sambil mematut diri didepan cermin.
“Ah,
mungkin memang belum saatnya,” aku menghibur diri, “mungkin Tuhan sedang mempersiapkan
kejutan untukku, semangat Maysa! Kamu harus bisa!”
Aku
menyambar tasku lalu beranjak dari rumahku, aku memang tinggal sendiri di sini
karena rumah orang tuaku cukup jauh dari tempatku bekerja, karena aku tidak mau
mengambil risiko pulang-pergi dengan jarak yang lumayan melelahkan.
Aku
menghentikan taksi yang aku lihat pertama kali. Taksi itu melaju dengan mulus
setelah aku mengatakan tujuanku. Helen dan Ocha mungkin sudah sampai di sana
karena aku menyuruh mereka berangkat lebih dulu, lagipula aku berharap tidak
bertemu dengan mereka di resepsi nanti.
Aku
menyerahkan undanganku kepada dua orang penjaga di depan pintu lalu melenggang
dengan gaya sok anggun memasuki ruangan yang mampu menampung 3000 orang itu,
aku harus menjaga sikap di acara seperti itu walaupun rasanya risih. Aku yang
tidak terbiasa memakai high heels
sampai aku paksakan karena tidak boleh masuk tempat resepsi bagi tamu undangan
tanpa pakaian resmi yang berarti setiap orang yang berjenis kelamin perempuan
diwajibkan memakai sepatu ber heels.
Aku
agak pusing melihat orang sebanyak itu dalam satu ruangan, aku juga tidak
berminat menyantap makanan yang sudah tersedia di beberapa stand. Perutku
serasa kenyang sepanjang waktu. Aku melihat ada beberapa white screen yang menampilkan kata-kata indah, sepertinya itu surat
cinta. Dugaanku benar karena di pojok kanan bawah tertera nama Ferly dan
tanggal pembuatan.
“Huh,
apa-apaan itu? Mereka mengumbar kemesraan,” ucapku dalam hati, namun seketika
aku memukul kepalaku sendiri, “mereka’kan sudah menikah,” ucap hatiku kemudian.
Acara
dibuka dengan sambutan kedua keluarga yang mengucapkan terima kasih banyak,
kemudian dilanjutkan kedua mempelai memasuki ruangan dan duduk di pelaminan
yang dihias dengan kelambu berwarna cream
dan hiasan-hiasan berwarna gold, mirip
dengan undangan yang aku terima beberapa waktu lalu.
Aku
mendesah ketika melihat kedua mempelai itu, tampak sangat bahagia dan menikmati
acara itu. Mana mungkin tidak! Itu acara mereka.
Acara
dilanjutkan dengan hiburan-hiburan entah apa namanya, aku tidak terlalu peduli,
jam dipergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul dua belas siang.
“Meetingnya
pukul satu, kalau aku pergi sekarang
pasti masih cukup untuk prepare,”
ucapku lalu segera kudekati pelaminan untuk sekadar berbasa-basi mengucapkan
selamat. Saat ini aku lebih memilih memikirkan pekerjaanku daripada yang
lain-lain untuk meminimalisir perasaanku yang tercabik-cabik.
“Selamat
ya, Ay,” ucapku lalu bercipika-cipiki
dengan Ayu, aku menyunggingkan senyumku yang kubuat paling tulus walau aku
yakin itu tidak mungkin terjadi, “surat cintanya indah,” bisikku tapat di depan
telinga Ayu.
“Buatan
suamiku,” sahutnya sembari tersenyum malu-malu.
“Waw,
keren,” aku mengacungkan ibu jari tanda salut, “ng... Ay, aku mau sekalian pamit.
Jam satu ini aku ada
meeting, tidak apa-apa’kan?”
“Ck,
dasar workaholic. Iya deh tidak
apa-apa, terima kasih sudah datang,” cetusnya agak kecewa namun kemudian dia
tersenyum kembali.
Aku minta maaf Ayu!! Selain karena meeting aku pergi
lebih cepat karena aku tidak tahan!! Hatiku hancurrr.
“Semoga
kalian langgeng ya...” ucapku terakhir kalinya lalu menyalami Ferly yang
berdiri tepat disamping Ayu. Aku tersenyum kepadanya, namun dia membalas dengan
senyuman yang menurutku sangat aneh. Seakan menyiratkan pesan
untukku, apa dia tidak ingin aku datang?
Atau dia tidak menginginkan pernikahan itu??
Aku
menganggukkan kepala kemudian berlalu, tanpa berani menoleh lagi. Tatapan
mata Ferly membuatku semakin sakit hati, sadar cinta Ferly bukan untukku
melainkan untuk teman baikku sendiri.
“Cepat
menyusul, Maysa!” aku mendengar Ayu berteriak seperti itu, membuatku terpaksa
menoleh. Aku tersenyum sekenanya lalu cepat-cepat kabur.
Aku
berjalan gontai di tengah keramaian, aku memilih berjalan kaki dan mengambil
jalan memutar supaya aku tidak cepat-cepat sampai di tempat meetingku yaitu distro dan kafe. Pasti
Mbak Genie sudah menyiapkan semuanya, pikirku.
Hatiku
sepi di tengah keramaian, oh tidak!! Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya.
Meskipun selama ini aku selalu menunggunya dalam ketidakpastian. Benar kata
orang, jika tidak pernah bertemu tidak akan berpisah. Saat ini aku
benar-benar berharap kalau aku tak pernah bertemu dengan Ferly, rasanya sakit
sekali.
Perhatianku
tiba-tiba tertuju pada keramaian yang tak jauh dariku, keramaian yang menurutku
sangat ganjil. Karena penasaran akupun ikut melihat keramaian di tengah jalan
itu.
“Ada
apa sih, Bu?” tanyaku kepada seorang Ibu yang berada disampingku.
“Ada
tabrak lari, Mbak. Korbannya sepertinya baru saja menikah, soalnya....”
Ucapan
Ibu itu tak kudengar lagi, aku langsung merangsek masuk di kerumunan orang itu.
Aku mendekap mulutku saat melihat dia terkapar dengan bersimbah darah, dia yang
kucinta, dia yang aku nanti namun tak dapat kumiliki. Memang benar dia yang
menjadi korban tabrak lari itu.
“Ferly?!!!”
aku mengangkat kepalanya dan menidurkannya di pangkuanku, air mataku meleleh
tanpa dikomando, “Ferly... kamu mendengarku?” aku mengusap pipinya yang banyak
terkena darah dari kepalanya yang terluka.
“Akanku
panggilkan ambulans,” ucap salah seorang yang menjadi penonton berinisiatif.
Aku
melihat kelopak mata Ferly terbuka perlahan, dia tersenyum kepadaku, bukan
dengan senyum aneh seperti di dalam gedung resepsi tadi melainkan senyum yang
pernah membuat hatiku luluh lantak sebelas tahun yang lalu.
“Kamu
tahan sebentar ya, ambulans segera datang,” ucapku tanpa
bisa berhenti menangis. Dia mengusap air mataku dengan tangannya yang
berdarah-darah, membuat wajahku ikut terkena darahnya.
Aku
memegang tangannya yang bergetar dengan tangan kiriku sementara tangan kananku
menjaga kepalanya supaya tidak banyak terkena guncangan.
Aku tak
menyangka kenapa dia bisa sampai di tempat ini, bahkan aku baru saja menemuinya
di tempat resepsinya.
“Surat
cinta itu untukmu, bukan untuk Ayu,” lirihnya dengan tulus, dia masih menyungingkan
senyuman itu. Senyuman yang membuatku hingga detik ini seakan tersihir dan tak
mampu melepaskan diri dari pesonanya, “di hatiku hanya
ada kamu,” lanjutnya tanpa melepaskan senyuman yang sangat aku sukai.
Aku
menangis sambil terus menatap matanya yang juga menatap mataku, tak ada
kebohongan terpancar dari dua manik berwarna cokelat itu. Perlahan aku lihat
mata itu kembali terpejam, terpejam untuk selamanya....
@@@
Aku
berdiri tak jauh dari kerumunan orang yang tengah berduka karena kehilangan
seorang anggota keluarga mereka, aku melihat Ferly tampak bahagia di
persemaiaman terakhirnya. Ferly meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit
karena terlalu banyak kehilangan darah dan lukanya terlalu parah. Dihatiku juga hanya ada kamu… cetus
hatiku yang terdalam.
Aku
hendak berbalik dan pergi ketika ada sebuah suara yang memanggilku, aku menoleh
dan menemukan Ayu dengan balutan dress berwarna putih dan kerudung berwarna
putih juga, sama sepertiku. Di tangannya ada kotak berukuran sedang berwarna biru, warna
kesukaanku.
Ayu
tersenyum kepadaku yang tampak lebih kacau darinya, tidak tahu kenapa
sepertinya Ayu tak begitu merasa kehilangan Ferly padahal dia adalah istrinya.
“Boleh
bicara sebentar?” tanya Ayu yang hanya mampu aku jawab dengan anggukan kepala.
Ayu
menyodorkan kotak ditangannya itu kepadaku setelah berada di luar area
pemakaman, “harusnya aku kembalikan sejak dulu, tapi aku tidak melakukannya,”
Ayu tersenyum pahit.
“Apa
ini?” tanyaku bingung.
“Itu
milikmu.”
“Milikku?”
aku membuka tutup kotak itu, di dalamnya ada berpuluh-puluh amplop surat.
Mataku sontak terbelalak, aku menatap Ayu minta penjelasan.
“Ya,
itu surat cinta yang kamu bilang indah kemarin. Sebenarnya itu untukmu, kamu
tidak sadar dengan tanggalnya? Tanggal dibuatnya jauh sebelum aku bertemu
dengan Ferly karena alasan perjodohan,” ungkap Ayu dengan mata menerawang,
“kita impas, May. Aku kehilangan kekasihku sehari sebelum aku menikah karena
dia bunuh diri, sementara kamu kehilangan Ferly satu hari setelah kami menikah
karena kecelakaan.”
Tanganku
bergetar mendengar ucapan Ayu itu, kenapa dia bisa mengucapkan hal seperti itu
padahal suaminya kini sedang dimakamkan.
Aku
melihat Ayu mulai menangis, namun aku yakin dia menangis bukan karena Ferly
melainkan kekasihnya yang meninggal lebih dulu dari Ferly.
“Kami
menikah bukan atas dasar cinta, kami bertemu juga bukan karena takdir sebuah
cinta, tapi takdir sebuah bisnis keluarga. Kamu tidak perlu merasa kecewa,
karena cintamu dibawa Ferly sampai mati tanpa ternodai sedikitpun,” setelah
mengucapkan itu Ayu meninggalkanku yang sekarang sudah bersimpuh di tanah yang
agak basah karena hujan tadi pagi, aku tidak sanggup lagi walau hanya untuk
berdiri.
Aku
mendekap kotak yang tadi diberikan Ayu kepadaku, hatiku tersayat-sayat lebih
dalam. Aku lebih menginginkan kamu bahagia walau pun aku tidak dapat melihatmu lagi selamanya, Ferly…. Ternyata
Ayu bukan yang terbaik untuk kebahagianmu.
@@@
Faldin
meletakkan segelas jus alpukat kesukaanku di atas meja kerjaku, aku langsung
meminumnya dengan ganas sampai habis. Faldin adalah kakak kandung Mbak Genie
yang notabene adalah pengelola kafe karena kemampuan memasaknya yang bisa
dipertanggung jawabkan.
“Masih
patah hati?” tanyanya sambil tersenyum usil. Otaknya yang jenius tidak menutup
kemungkinan dia melakukan hal-hal yang menyebalkan, “kemarin aku tidak sengaja
membaca salah satu surat cinta dari Ferly-mu itu. Sepertinya dia menulis setiap
bulan ya, sempat sekali dia.”
Aku
mendelik kepadanya lalu melemparnya dengan pulpen di tanganku, “dasar tidak
sopan!”
“Maaf
deh, tapi aku membaca kalau kamu harus mencari laki-laki baik untuk pendamping
hidupmu. Kamu tidak mau melaksanakan amanatnya itu?” Faldin mendekatiku lalu
berdiri di belakangku, entah kenapa tiba-tiba dia bersikap aneh seperti itu.
“Aku
belum menemukan laki-laki yang dapat menerima gadis yang dihatinya sudah penuh
dengan laki-laki lain,” sahutku tanpa memperhatikannya karena perhatianku
terkuras oleh pekerjaan di depan mataku.
“Oh
begitu?” ucapnya dengan nada kecewa. Aku menoleh kepadanya yang sekarang
ngeloyor begitu saja meninggalkanku.
“Apa-apaan
dia?” deisiku heran, sedetik kemudian aku mengedikkan bahu tak peduli lalu
meneruskan pekerjaanku.
@@@
Aku mencintaimu lebih besar dari yang dapat kamu dan aku
pahami, karena cinta itu datangnya dari Yang Kuasa. Aku tidak dapat memintanya
dan juga tak dapat mencegahnya. Cinta itu erat hubungannya dengan takdir seseorang
yang telah digariskan Tuhan, aku percaya jika kita tak dapat bersatu di dunia
kita dapat bersatu di alam baka. Tempat keabadian kita dan Cinta kita.
Carilah laki-laki terbaik yang dapat membawamu ke tempat
yang terbaik pula, karena aku sudah tidak bisa melakukannya lagi. Jangan pernah
menyesali jalan takdir yang telah kita lalui apapun alasannya karena itulah
cara kita mensyukuri yang telah Tuhan berikan kepada kita.
Yang selalu mencintaimu, 26 Juli 2010
Ferly
@@@
Aku telah menunggu di mana aku akan kembali dapat
merasakan desahan napasmu, karena dengan begitu jantungku akan dapat berdetak
normal kembali. Aku bukan orang yang suka mengobral kata-kata cinta, yang aku
bisa adalah menyatakan apa yang aku dan hatiku rasakan.
Kamu memang satu-satunya wanita yang dapat meluluhkan
dinginnya hatiku tanpa harus menghancurkannya dengan palu, kelembutanmu membuat
aku sadar bahwa aku tak bisa hidup tanpa cinta. Dan aku juga sadar bahwa
kamulah cinta yang dikirim Tuhan untukku, yang selama ini aku tunggu-tunggu.
Di hatiku hanya ada kamu, selamanya tanpa ada yang bisa
mengubahnya kecuali Tuhan telah berkehendak berbeda.
Yang selalu menantimu, 26 Juli 2006
Ferly
@@@
Aku
menyimpan kembali kotak surat cinta dari Ferly, aku tidak paham kenapa Ferly
tidak mengatakan apapun kepadaku kalau dia memang menyukaiku. Padahal aku
sengaja memilih SMA yang tidak jauh dari SMPku dulu supaya aku bisa bertemu
dengan Ferly jika laki-laki itu benar ingin mencariku, aku dulu seperti orang
bodoh yang menunggu sesuatu hal yang kuanggap mustahil.
Faldin
masuk kedalam ruanganku dengan wajah yang lebih ceria dari kemarin tepat ketika
aku selesai menyimpan kotak surat Ferly, dia lagi-lagi membawa segelas jus
alpukat kesukaanku karena dia tahu kalau aku selalu menyukai jus alpukat
buatannya itu.
“May,
berikan jawaban secepatnya ya. Dan aku harap jawabannya ‘bukan’ tidak,” ucapnya
setelah meletakkan jus alpukat itu di mejaku, dia kemudian cepat-cepat
menyingkir dari hadapanku.
Aku
mengerutkan dahi bingung, “ada apa dengan orang itu?”
Aku
menyeruput jus buatan Faldin dengan lebih wajar, tidak kesetanan seperti
kemarin. Apalagi di hadapanku masih ada pekerjaan yang melambai-lambai untuk
segera diselesaikan.
Aku
menyeruput jus yang hanya tinggal sedikit dengan agak kuat, seraya bangkit
untuk membawa gelas kosong itu kembali ke dapur, namun aku mendengar bunyi aneh
dari dalam gelas. Aku melongok dan melihat benda kecil bulat mirip donat
berwarna perak dan berhias berlian. Cicin?
Aku
mengambil cincin itu dengan sedotan, “apa milik Faldin yang jatuh ya?” Aku
membersihkan cincin itu dengan tissue
dan hendak mengembalikannya kepada Faldin, namun tiba-tiba aku ingat ucapan Faldin
ketika memberikan segelas jus alpukat itu kepadaku, aku langsung mendekap
mulutku tak percaya, “Faldin melamarku?”
@@@
Sudah
satu bulan sejak Faldin melamarku diam-diam, aku belum memberikan jawaban
apapun. Namun, aku menjadi ragu laki-laki yang usianya lebih tua 5 tahun dariku
itu benar-benar serius melamarku atau tidak, pasalnya dia bersikap seolah-olah
tidak pernah ada kejadian itu. Kenapa diusianya yang hampir memasuki kepala
tiga tingkahnya masih seperti anak-anak?
Arghhh,
apa-apaan Faldin itu? membuatku jadi kesal saja. Dia itu berniat melamar
seorang gadis atau tidak? Kalau iya kenapa dia mendiamkanku setelah memberikan
sebuah cincin beserta pertanyaan yang harus kujawab ‘iya’.
Tanpa
sengaja aku berpapasan dengan Faldin yang hendak keluar dari kafe sementara aku
akan masuk ke dalam kafe.
“Hai,
Maysa...” sapanya riang.
“Ng...
boleh aku bertanya sesuatu?” ucapku membuatnya urung keluar, dia mengikutiku
duduk di salah satu meja kafe. Suasana kafe yang lengang di jam
istirahat, membuatku leluasa mengatakan apapun kepada laki-laki yang kini duduk
di hadapanku.
“Ya,
kamu mau bicara apa?” Faldin menatapku dengan matanya yang indah. Sudah kuakui
sejak pertama kalau Faldin adalah laki-laki tampan dan mempesona bahkan
melebihi Ferly.
Aku
mengeluarkan kotak kecil yang berisi cincin berlian milik Faldin, “apa yang
harus kujawab dengan ini?” Aku menyodorkan kotak itu.
Faldin
tampak bingung. Namun, dia segera memahami maksudku ketika dia membuka kotak
itu, “ng... bagaimana ya?” dia menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak
bermasalah sama sekali, dia hanya gugup. Ha? Gugup? Sejak kapan Faldin bisa
gugup di hadapanku? Orang yang selalu menjadi korban keusilannya, yang membuatku
tidak pernah mau memanggilnya dengan sebutan Kakak atau Mas seperti yang
kulakukan kepada adiknya, Mbak Genie.
“Hei,
kamu tahu dengan jelas bagaimana perasaanku, atau kamu pura-pura tidak tahu?”
“Tidak, emm… ya, aku
benar-benar tahu. Aku bisa tahu hanya dengan menatap matamu,” balasnya membuatku
skakmat, tidak bisa membantah lagi kalau laki-laki di hadapanku itu memang
pintar merayu.
“Memang
kapan kamu menatap mataku?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari Faldin
yang memalingkan wajah.
“Sekarang,”
ucapnya sambil menatap lurus mataku, aku belum sempat mengelak sama sekali. Dia
menjatuhkanku dengan mudah, oh tidak!!
Aku
menghela napas panjang, “lalu apa yang ingin kamu dengar dariku sekarang?”
Faldin
tersenyum lembut, mata kami masih saling berpandangan, “katakan apa yang ingin
hatimu katakan, jangan pernah tutupi apa yang harus menjadi kenyataan.”
“Oke,
sepertinya kamu lebih memahami apa yang harus aku katakan daripada diriku
sendiri,” ungkapku seraya bangkit.
“Maksud
kamu?” dia menarik tanganku supaya aku tidak berjalan meninggalkannya.
“Walaupun
saat ini aku pergi darimu, hatiku sudah milikmu,” ucapku lalu benar-benar
pergi, pekerjaan masih menumpuk di mejaku. Aku mendengar dia bersorak-sorak
sendiri, aku lega akhirnya dapat menemukan laki-laki baik seperti permintaan
terakhir Ferly. Yah, walaupun Faldin agak usil, tapi dia adalah laki-laki
bertanggung jawab dan mampu menjaga hatinya.
“Maysa!
Thank you! I love you, Maysa!” teriaknya sambil berjingkrak-jingkrak ala anak kecil, membuatku mau tidak mau
terkikik geli.
Faldin
sepertinya mengurungkan niatnya untuk keluar kafe karena kudengar suaranya yang
sedang menceritakan kejadian tadi kepada adiknya di ruangan sebelah yang hanya
berbatas tembok dengan ruanganku. Aku dapat mendengar dengan jelas kalau Faldin
berkata, “aku akan menyusulmu, Gen. Aku tidak akan menjadi perjaka tua seperti
yang kamu duga!”
Hahaha,
dasar Faldin! Di balik sikapnya yang dewasa dan bijak, dia selalu bersikap
kekanak-kanakan. I think I will happy
meskipun cinta pertamaku telah tiada. Cinta tidak butuh waktu untuk mencari
kebahagiannya, karena cinta datangnya dari Yang Kuasa, kita tidak bisa menolak
kedatangannya dan tidak bisa mengusirnya walaupun dengan memaksanya.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar