Kian
By Miss Dhe
Bukan! Bukan
jajaran gedung yang berdiri angkuh itu yang menjadi objek penglihatan Meta di tengah
kesunyian taman kota yang masih basah
akibat hujan siang tadi, melainkan sesosok laki-laki yang entah sudah berapa
lama bersemayam di pikirannya. Mungkin
malah sudah merambah hatinya. Senyum itu terkembang dari bibir tipisnya.
“Kamu bahagia?” gumamnya yang
sebenarnya ditujukan untuk laki-laki di seberang sana. Angin berhembus
menerbangkan rambut hitam sepunggung yang sengaja dibiarkan tidak terikat,
seolah ingin menyampaikan pertanyaan Meta kepada laki-laki itu.
Setelah dirasa cukup mengamati
laki-laki di seberang, Meta bangkit dan melangkahkan kakinya meninggalkan taman
kota yang mulai ramai dengan pedagang kaki lima dan pengunjung yang mayoritas
berpasangan, entah suami-istri muda atau pun pasangan kekasih yang menurut Meta
tengah mengumbar kemesraan.
***
Laki-laki yang tengah sibuk membaca
buku sembari menikmati suasana temaram café itu secara tidak sadar menatap
keluar dinding kaca yang langsung menampakkan taman kota. Seolah ada sesuatu
yang membuatnya tiba-tiba mengalihkan perhatiannya dari buku yang tengah dia
baca. Sesuatu yang menarik, tapi dia tidak tahu apa itu.
Laki-laki itu mengedikkan bahunya tidak
peduli dan kembali tenggelam dengan bukunya ketika tidak menemukan siapa pun
yang dikenalnya di sana.
***
Meta menyusuri jalan menuju rumahnya
dengan senyum terkembang, hari ini dia dapat melihatnya kembali. Sudah hampir
satu minggu dia menunggu momen itu lagi. Laki-laki berperawakan tinggi itu
berada di tempatnya kembali setelah satu minggu absent.
“Apa kamu melupakan aku?” Tanya Meta
pada dirinya sendiri, berharap angin yang berhembus menyampaikannya pada
laki-laki itu.
“Tepat tujuh tahun lalu kita bertemu,”
pandangan Meta menerawang arak-arakan awan putih yang mempercantik langit biru.
Bibir tipisnya menyunggingkan senyum
tulus, berapapun lama dia menunggu dia rela. Meta tidak pernah menyesal
memiliki perasaan hangat nan menggelitik itu di hatinya, walau terkadang
membuat perutnya teraduk-aduk seiring debaran halus setiap melihat atau
membayangkan laki-laki itu. Tidak ada yang lain, hanya laki-laki itu yang mampu
memberikan sesasi berbeda kepada Meta. Laki-laki itu tidak dekat, tidak pula
jauh. Membuat Meta terkadang bimbang dengan perasaannya.
***
Takdir seolah mempermainkan Meta. Sore
itu ketika mendung menggelayuti langit, untuk sekian kalinya laki-laki tinggi
berwajah oval yang selalu menjadi objek pengamatannya tidak berada di tempatnya.
Meta, untuk pertama kali memberanikan diri memasuki café dan mengedarkan
pandangan ke seluruh pojok ruangan untuk mencari keberadaan laki-laki itu.
“Kamu mencariku?” interupsi sebuah suara
yang cukup membuat tubuh Meta seketika membeku. Gadis itu memejamkan matanya
sejenak sebelum membalikkan badan dan menemukan pemilik suara yang begitu dia
kenal.
“Meta?” ucap laki-laki itu tanpa suara,
tatapannya menyiratkan ketidakpercayaan atas apa yang dilihatnya.
Kontan Meta menundukkan kepalanya, sama
terkejutnya dengan laki-laki yang kini berdiri tepat di hadapannya. Dia
masih mengingatku, bisik Meta dalam hati. Tidak
ada pembicaraan di antara keduanya untuk beberapa waktu sebelum seorang waitress
menanyakan di mana mereka akan duduk.
***
Dan di sinilah keduanya berada, di
sudut café yang menjadi favorit laki-laki itu. Sama-sama terdiam dan
menyibukkan diri dengan minuman yang mereka pesan.
“Sudah lama tidak bertemu, bagaimana
kabarmu?” Tanya laki-laki itu memecah kekakuan yang mereka ciptakan, suasana
paling Meta benci namun mau bagaimana lagi? Meta sama sekali tidak bernyali
memulai pembicaraan.
“Baik, bagaimana denganmu?” sahut Meta
kikuk, hal yang juga dirasakan laki-laki di hadapannya.
Laki-laki itu tersenyum sembari menatap
lekat wajah kikuk Meta, “aku juga baik, terlebih hari ini.”
“He?” Meta kontan menatap laki-laki itu
dengan terkejut mendengar ucapannya yang
menurut Meta ganjil. Mata mereka bertemu, seolah bertukar pengalaman melalui tatapan
masing-masing.
“Selama
bertahun-tahun aku selalu di sini setiap sore, tapi tidak ada orang yang bisa
kuajak mengobrol. Tapi, kali ini berbeda,” ucapnya membuat Meta mengembangkan
senyumnya, seperti mendapat lampu kuning dari laki-laki di hadapannya.
Meta hanya diam
menunggu apa yang akan keluar dari mulut laki-laki itu, dengan pikiran terfokus
hanya pada sosok yang selama ini hanya dilihatnya dari jauh.
“Aku hanya berdiam diri di meja ini,
berharap keajaiban datang. Ada seseorang yang menyapaku dan membuatku terbebas
dari kekosongan ini… dan penantianku tidak sia-sia. Hari ini aku mendapatkannya
karena kamu. Terima kasih banyak, Meta. Benar bukan kalau namamu Meta?” Tanya
laki-laki itu memastikan.
Meta terkekeh kemudian mengulurkan
tangannya pada laki-laki dihadapannya, “ya,
namaku Meta.”
“Kian. Itu namaku,” sahut laki-laki
bernama Kian itu seraya menyambut uluran tangan Meta. Senyum terkembang dari
bibirnya. Senyum yang sama. Senyum menawan yang meruntuhkan
pertahanan Meta dan membuat gadis itu bahkan tidak dapat melupakan Kian selama
tujuh tahun ini.
“Aku tahu... Kian, karena namamu selalu
berputar-putar di kepalaku sejak kamu tersenyum kepadaku tujuh tahun lalu,”
Meta tidak menyuarakan sahutannya, lebih baik kenyataan itu dia pendam karena
tujuh tahun yang dia lalui telah terbayar hari ini.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar