Selamanya Seperti Ini
By Miss Dhe
Sebenarnya dia juga tak ingin mengalami hal seperti itu
dalam hidupnya, mana bisa dia memilih bagaimana kehidupannya bukan? Dia hanya
bisa berusaha dengan sebaiknya tanpa bisa menentukan hasil akhirnya. Tuhan yang
menentukan segalanya. Tak ingin menentang Tuhan, dia berjalan sesuai dengan
seharusnya walau hatinya terasa teriris-iris.
Sangat ingin rasanya dia menceburkan diri di sungai yang
berarus deras di dekat sekolahnya, namun dia sadar jalan itu tak akan
membawanya kepada kebahagiaan. Bisa-bisa dia kembali tersiksa dengan langsung
menuju neraka tanpa ditimbang amalnya selama ini.
“Ajun! bengong saja! Yuk masuk,” suara Doni, teman
sekelasnya, menginterupsi lamunannya yang mulai ngelantur.
Ajun tersenyum, senyum palsu yang selalu dia pasang untuk
menutupi masalah-masalah yang berkecamuk di kepalanya, yang bahkan pernah
membuatnya ingin hilang ingatan. Laki-laki yang baru menginjak usia tujuh belas
tahun itu mengikuti langkah Doni menuju kelas mereka yang berada tak jauh dari
tempat favoritnya. Bawah pohon kelengkeng tua rimbun yang jarang di datangi
siswa akibat desas-desus adanya penunggu di pohon tersebut.
%%%%
Tawa itu keluar dari bibir tipis Ajun ketika berada di
tengah-tengah forum obrolan dengan teman-teman sekelasnya, laki-laki yang
terkenal ramah itu memang tak pernah lepas dengan tawa dan senyuman merekah.
Namun hanya dirinya yang tahu bagaimana keadaan hatinya dan kepalanya yang penuh
dengan problematika yang sebenarnya diharapkan Ajun sebagai sebuah mimpi buruk di
mana nantinya akan berakhir jika dia terbangun.
Namun… semua hanya sekadar harapan, semua yang dia alami
adalah fakta. Tanpa ada yang merekayasa seperti pada film yang merupakan cerita
fiktif belaka. Meski fakta dan fiktif terdengar tak jauh beda, makna yang
terkandung begitu bertolak belakang. Fakta dengan kenyataan yang benar-benar terjadi,
sementara fiktif hanya cerita rekaan penulis atau penyair.
Segala memang benar adanya, namun Ajun berusaha untuk
tetap bersikap seperti tak terjadi apapun. Senyum lebarnya, tawa renyahnya.
Ajun berusaha untuk tetap mempertahankan semua itu. Segala kesulitan yang menggelayutinya
tak menjadi persoalan serius.
%%%
Sebenarnya Ajun hanya ingin hidup tenang satu detik saja,
tanpa pikiran-pikiran aneh tentang cara keluar dari dunia ini tanpa harus bunuh
diri. Dia suka sekali tidur, bukan hanya karena tidur merupakan hobbynya sejak
kecil tapi lebih karena dengan tidur Ajun tak perlu memikirkan segala problem yang melilitnya, yang dia lakoni
hanya mimpi walau terkadang buruk dia tak akan terlalu peduli karena setelahnya
dia akan bangun. Bahkan Ajun pernah memikirkan untuk tidur selamanya, damai
dalam mimpinya. Andai itu terjadi mungkin dia tak perlu merasakan sakit lagi.
Dia tahu kata perandaian hanyalah untuk orang-orang pesimis, hanya saja kali
ini dia tengah berada pada posisi itu. Pesimis.
Ajun pernah mendengar perkatan kakak dari temannya yang
kuliah di jurusan psikologi tentang teori motivasi, yaitu kebutuhan dasar
manusia adalah memenuhi kebutuhan fisiologisnya seperti bernafas, makan, minum,
dan sebagainya. Namun ketika dia membandingkan dengan keadaannya, sungguh sulit
dibuktikan. Untuk bernafas dia begitu kesulitan, seolah oksigen tak cukup
memenuhi paru-parunya. Makanan dan minuman yang dia masukkan ke mulut hanya
sebagai rutinitas agar tubuhnya itu dapat tegak berjalan menjalani hari-hari
yang tersisa.
%%%
“Ajun! Kenapa belum bangun? Ini sudah jam enam... Ajun!”
suara wanita yang telah melahirkan Ajun menggema bersamaan dengan ketukan pintu
yang intensitasnya semakin banyak, “Ajun!!”
Wanita itu mendorong pintu kamar Ajun yang seketika
terbuka. Ternyata si pemilik kamar tak mengaitkan kuncinya. Tak biasanya.
“Ajun... kenapa masih tidur?” dia mendekati tempat tidur
putra sulungnya kemudian menyentuh tangan Ajun yang masih terkulai. Dingin.
“Ajun! Ajun! Jangan bercanda pagi-pagi, Ajun!” panik
wanita itu sambil terus menggoyang bahu putranya yang tetap bergeming. Mata itu
tetap terpejam. Wajahnya seputih kanvas dan bibir pucat.
%%%
Dokter belum mampu mendiagnosa apa yang terjadi pada anak
laki-lakinya, beberapa dugaan penyakit yang awalnya diungkapkan dokter tidak
muncul dalam tes laboratorium. Sementara CT Scan dan MRI menunjukkan hasil yang
sama, otak Ajun menunjukkan posisi orang tertidur.
“Apa selama ini pasien memiliki masalah serius? Atau anda
sendiri yang mengalami masalah serius?” tanya dokter siang itu ketika semua tes
yang dilakukan tidak mendapatkan hasil yang signifikan.
Kening wanita itu berkerut tanda tak paham.
“Kalau bukan masalah fisik, dimungkinkan kondisi putra
anda disebabkan masalah psikologis,” cetus dokter menjelaskan.
Lama wanita itu terpekur kemudian mengangguk, “saya dalam
proses perceraian dengan suami saya. Tapi selama ini tampak tak masalah, dia
masih tersenyum dan tertawa seperti biasanya.”
“Saran saya adalah anda mengonsultasikan masalah anda
kepada psikolog rumah sakit, ini untuk menolong putra anda. Tim dokter sudah
menyerah menemukan penyakit apa yang sebenarnya bersarang pada putra anda,”
ungkap dokter akhirnya, sementara wanita itu hanya mendesah pasrah.
Tanpa dia ketahui putranya memendam perasaannya sendiri,
membiarkannya tumbuh menjadi sebuah penyakit yang bahkan dokter tak mampu
mendiagnosanya. Dia lalai dengan perkembangan psikis Ajun yang baru berumur
belasan tahun. Perceraian itu tak hanya berdampak padanya dan calon manta
suaminya, tapi dampak itu lebih besar diterima oleh Ajun—putranya. Mungkin juga
akan merambat pada putri bungsunya, adik Ajun. Dia harus segera melakukan saran
dokter dan juga memberikan tindakan preventif untuk adik Ajun.
%%%
Hari-harinya dilewati wanita itu dengan menggenggam
tangan putra sulungnya yang belum bangun dari ‘tidur’nya. Setiap hembusan
napasnya dia gunakan untuk berdoa, memohon kepada Sang Pemberi Hidup untuk
membiarkan putranya bertahan. Ketika siang, dia akan mengajak berkomunikasi
putranya walau dia tampak seperti sedang bermonolog. Dan ketika malam datang,
dia gunakan untuk bersujud kepada Tuhannya.
Bahkan laki-laki yang hampir menjadi mantan suaminya
selalu hadir menemaninya, terkadang laki-laki itu bersama putri mereka yang
selama Ajun berada di rumah sakit gadis kecil itu mereka titipkan di rumah
neneknya.
“Pegadilan sudah membatalkan gugatan ceraiku. Maafkan aku
karena keegoisanku, kamu dan anak-anak kita yang menjadi korban,” ucap
laki-laki itu penuh penyesalan. Hari ini dia memiliki waktu untuk menemani
istrinya menjaga Ajun yang masih belum mau bangun, mungkin dia masih menyukai
mimpinya.
%%%
Entah pada hari keberapa tubuh itu terbaring tanpa
melakukan apapun, bahkan alat-alat medis semakin banyak terhubung dengan tubuh
tanpa respon itu untuk menopang kehidupannya. Mata lelahnya perlahan terbuka
seolah dia bangun dipagi hari setelah tadi malam tidur seperti biasa.
Seketika air mata wanita itu meleleh dengan mulut yang
tak berhenti mengucap syukur.
“Mama... kenapa menangis?” ucapnya lebih terdengar
seperti bisikan, “padahal Ajun baru saja mimpi indah sekali...”
“Iya, sayang. Mama tidak apa-apa,” sahut wanita itu
seraya mengecupi puncak kepala putranya dengan lembut, sementara suaminya
dengan setia memeluknya dari belakang.
“Lalu kenapa Papa di sini? Apa Papa ingin memarahi Ajun?
Apa Ajun nakal lagi?” pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir pucat putranya
yang seketika menghancurkan pertahanan laki-laki itu, dia ikut larut dalam
tangisan istrinya.
“Tidak, Papa di sini untuk menemani Mamamu. Ajun anak
yang baik, mana mungkin Papa memarahi Ajun,” ucapnya tak mampu membendung haru,
putranya, putra yang bahkan sama sekali tak dia pikirkan ketika dirinya
memutuskan untuk menceraikan istrinya.
Laki-laki itu menyentuh kepala putranya kemudian
mengecupnya seperti yang dilakukan istrinya, “kamu jangan tidur lagi ya, Mama
dan Papa sangat menyayangimu. Maafkan kesalahan kamu selama ini...”
“Tapi Ajun lelah, Pa, Ajun takut...”
“Ada Mama dan Papa di sini, Ajun tidak perlu takut,” ucap
laki-laki itu seraya mengusap kepala putranya lembut, “kalau kamu lelah kamu
istirahat, tapi setelah itu kamu harus berlari lagi. Kamu tidak ingin bertemu
dengan Anjani? Atau teman-temanmu di sekolah?”
“Apa Ajun sudah terlambat sekolah?” tanya Ajun yang
membuat kedua orang tuanya tersenyum, senyum pertama sejak ‘tidur’nya Ajun.
“Tidak, sayang. Mama sudah menghubungi sekolah, Mama
bilang kalau kamu harus banyak istirahat dan nanti setelah kamu sudah tidak
lelah kamu akan masuk sekolah lagi,” jawab wanita itu seraya menyusut air
matanya, “sekarang Ajun ingin apa? Supaya Ajun tidak lelah lagi?”
Ajun menatap kedua orang tuanya bergantian lalu berkata
dengan lirih namun mampu melegakan hati keduanya yang selama ini diliputi
kecemasan, “Ajun lapar, ingin makan bubur buatan Nenek.”
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar