Tulang Rusuk Ini, Milikmu!
By: Miss Dhe
Hufft…
Namanya terus saja terngiang-ngiang di
kepalaku, entah sudah berapa lama hal ini terjadi. Menolak berhubungan serius
dengan beberapa laki-laki yang mendekatiku hanya karena penantian ini. Tapi aku
sama sekali tidak menyesal, buat apa menyesal? Toh aku sudah menjalaninya
beberapa tahun terakhir ini.
Akmal. Syifa’ul Akmal.
Laki-laki yang hanya meninggalkan
senyuman manisnya sebagai kenang-kenangan sebelum dia pergi, membuatku ragu
apakah dia benar-benar akan kembali. Bahkan jika dia kembali apakah dia akan
tetap seperti dulu?
Aku tidak tahu.
TTT
Entah berapa banyak buku diary
yang kuhabiskan untuk menuliskan namanya, sepertinya aku berubah terobsesi pada
laki-laki tinggi itu. Ya Allah… apa ini salah? Aku sama sekali tidak
menghiraukan Azmi
yang jelas-jelas telah orang tuaku pilih untuk mendampingiku, sementara Akmal
hingga detik ini belum pernah memberiku kabar sejak sepuluh tahun lalu pamit mondok
(menuntut ilmu di Pondok Pesantren) di Kediri.
Orang tuaku telah
yakin dengan Azmi sebagai calon menantu mereka, sementara aku belum bisa
menerima bahwa bukan Akmal—seperti yang aku harapkan
sejak dulu—yang menjadi laki-laki
baik pendamping hidupku.
“Orang tua Azmi
akan kemari besok malam, Ayah sudah yakin dengan dia. Berkali-kali istikharah, hanya nama Azmi yang muncul.
Bukan laki-laki lain,” ungkap Ayah yang membuat lututku lemas. Apakah ini
pertanda bahwa Akmal bukanlah jodoh yang Engkau siapkan untukku Ya Allah?
Aku menatap Ayahku
ragu, hatiku belum bisa menerima Azmi sebagaimana keinginan Ayahku. Terlalu
lama aku berkutat dengan penantian tidak berujung, menunggu laki-laki yang kusangsikan mengetahui perasaanku.
Namun, pada akhirnya aku menganggukkan kepala
patuh. Hati ini tidak kuasa untuk menolak permintaan kedua orang tuaku. Mereka
adalah orang-orang yang paling kupercayai, setiap hembusan napasku pun yakin
mereka akan memberikan yang terbaik padaku. Terlepas dari perasaan kecewaku karena
secara tidak langsung telah menutup harapanku untuk bersanding dengan Akmal.
TTT
Mengapa hati ini
belum yakin Ya Allah? Tanggal pernikahan itu telah ditetapkan, namun aku belum
bisa menerima bahwa mempelai laki-lakiku bukan Akmal. Laki-laki yang memenuhi diaryku sejak lama dan laki-laki pertama
yang membuatku terpesona akan senyumannya.
Aku masih bimbang dengan keputusan yang
telah kubuat untuk menyetujui keputusan kedua orang tuaku. Walaupun aku dan
Azmi cukup dekat selama ini, tidak berarti aku akan mudah menerimanya kelak
jika nama Akmal masih berputar-putar di kepalaku.
Hmm, walaupun hati
ini belum mampu menerima
kenyataan yang akan kuhadapi, aku lebih tidak mampu untuk mengingkari keputusan
orang tuaku yang telah mempersiapkannya dengan matang. Nama Azmi selalu hadir
dalam istikharah kedua orang tuaku, terlepas dari bagaimana hati kedua orang
tuaku kala itu. Apakah mereka benar-benar meminta tanpa memihak pada laki-laki
manapun atau memang hanya Azmi yang mereka inginkan. Aku tidak tahu. Yang aku
tahu tiga bulan yang akan datang, statusku akan berubah menjadi Nyonya Azmi.
TTT
“Kamu tidak
menginginkan hubungan ini?” suara Azmi menginterupsi lamunanku usai resepsi
pernikahan ketika kami duduk
berdampingan di ranjang pengantin yang terdapat bunga-bunga plastik berwarna
putih dan selambu berwarna baby pink
sebagai hiasan. Warna yang sebenarnya kurang aku gemari sebagai warna
barang-barangku.
Kontan aku menatap
laki-laki yang kini telah sah menjadi mahromku. Tanpa kusadari waktu tiga bulan
terlampaui begitu cepat.
Aku tersenyum
lembut kemudian menyentuh tangannya, “mungkin aku egois, tapi aku mohon jangan
mengungkit bagaimana perasaanku. Yang harus kamu tahu, aku seutuhnya telah menjadi milikmu.”
Azmi menghela
napas kemudian membalas genggaman tanganku dengan
tangannya yang masih bebas, “sebenarnya siapa laki-laki itu? Supaya aku lebih
lega, please...”
“Kamu juga
mengenalnya. Memang laki-laki itu yang membuatku ragu, tapi aku tetap memilihmu
pada akhirnya. Laki-laki itu... Akmal,” ungkapku yang membuat mata Azmi sedikit
melebar.
“Akmal?” aku
mengangguk, aku yakin nama itu pasti tidak asing bagi Azmi. Bagaimana tidak?
Mereka besar bersama. Bermain kelereng bersama, membolos sekolah bersama,
hingga mengerjai guru baru bersama sebelum keduanya berpisah ketika lulus SMP.
Akmal memilih untuk menuntut ilmu di pesantren, sementara Azmi menetap dan
melanjutkan sekolah di SMK yang hanya ditempuh setengah jam perjalanan dengan
sepeda motor dari rumahnya.
TTT
Malam itu masih
sama seperti malam sebelumnya, Azmi masih tidur dengan memunggungiku. Membuatku
bertanya-tanya, apakah dia tidak menerimaku karena kejujuran yang aku ungkapkan
kemarin malam?
Kusentuh bahunya
lembut mencoba membuatnya untuk berpaling padaku. Laki-laki itu menoleh
kemudian membalikkan badannya menghadap padaku.
“Ada yang ingin
kamu katakan?” tanyaku membuka percakapan, aku tidak ingin masalah ini berlarut-larut.
Azmi menatapku
dengan ragu, seolah ada yang ingin diungkapkan namun begitu sulit. Aku menatap
tepat di manik mata gelapnya, meyakinkan laki-laki dihadapanku ini untuk
membuka suara. Lebih baik
semuanya diselesaikan segera supaya kami menjadi sepasang suami istri normal
tanpa bayang-bayang masa lalu.
“Seharusnya aku
paham, tapi ternyata aku belum terlalu mengenalnya. Aku selalu dititipi sepucuk
surat untuk orang yang tidak pernah aku tahu, aku pikir itu hanya cinta monyet
yang akan dilupakan setelahnya. Dia selalu berkata aku juga mengenalnya, bahkan
aku begitu mengenalnya. Dia memberitahuku bahwa orang itu selalu berada di
dekat kami, hanya saja berusaha tidak terlihat supaya dengan leluasa mengetahui
gerak-gerik kami. Dia tahu hal itu tapi membiarkannya, karena jika dia
menanggapi, dia takut jika
orang itu malah akan pergi menjauh.”
Aku mengernyit,
tidak paham dengan kata ganti ‘dia’ dan ‘orang itu’ yang dipakai Azmi.
Sebenarnya ke mana arah pembicaraan suamiku ini? Tanpa kusangka matanya mengeluarkan
cairan bening yang seketika membuatku terperanjat, salah apakah aku hingga
membuatnya menangis?
“N-R. Najwa
Renata, seharusnya aku bisa berpikir sejauh itu. Tapi nyatanya aku tidak bisa.
Dia juga menyimpan perasaan yang sama untukmu sejak lama, seharusnya aku
mengatakannya padamu. Tapi aku benar-benar tidak tahu, inisial NR disetiap
suratnya padaku merujuk padamu. Maafkan aku, Ren...”
Air matanya
benar-benar tidak dapat dibendung, hingga membuat sungai kecil di wajahnya yang
membuatku berdesir sejak dia mengucapkan janjinya di hadapan Tuhan.
Kutangkup wajahnya
dengan kedua tanganku kemudian berucap dengan mantap, “mungkin aku memang
kecewa mendengar ceritamu, seharusnya aku bisa bersama dengan Akmal jika kamu
menyadarinya sejak awal. Tapi... apakah aku tidak terlalu kufur? Tuhan telah
menggariskan takdirNya, daripada aku menyesali masa lalu lebih baik aku
bersyukur karena pemilik tulang rusuk ini adalah laki-laki baik sepertimu.”
Matanya masih
menatapku sendu, “aku akan memberikanmu waktu untuk memikirkan ulang ucapanmu
itu, aku ingin kamu membaca surat terakhir yang dia titipkan padaku. Aku belum mebaca surat terakhirnya
karena tanggalnya sama dengan tanggal pernikahan kita, aku terlalu terlarut dalam suasana
waktu itu.”
Setelah
mengucapkan itu Azmi bangkit kemudian mengambil sebuah amplop di meja nakas di
samping tempat tidur kami, setelah menimbangnya beberapa detik, amplop itu
diserahkannya padaku.
“Apapun yang kamu
putuskan nanti, aku akan menerimanya.
Pegang janjiku,” cetusnya kemudian turun dari tempat tidur, menuju sofa
di sudut ruangan dan berbaring di sana.
Mengapa dia
meninggalkanku di tempat tidur ini sendirian? Bahkan kami belum menunaikan
kewajiban kami sebagai suami-istri sejak ijab qobul yang dia ucapkan kemarin lusa. Aku menghela napas
lalu fokus pada amplop di tanganku. Mungkin Azmi juga membutuhkan waktu untuk
dirinya sendiri, aku tidak mungkin menyalahkannya. Aku tidak pernah tahu
bagaimana perasaan Akmal padaku sebelum Azmi memberitahuku, Azmi juga baru
menyadari siapa pemilik inisial NR yang selalu menjadi subjek dalam setiap
surat Akmal yang
dititipkan kepada Azmi.
Terlebih lagi
Akmal, laki-laki itu sama sekali tidak
mengetahui bagaimana perasaanku padanya sampai aku menjadi milik orang lain.
Hati ini gundah, namun entah mengapa seolah aku telah menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalaku sejak kemarin. Semoga inilah
yang terbaik untuk kami bertiga, bismillahirrohmanirrohim...
TTT
Malam ini aku sengaja berdandan ke
salon untuk menyambut Azmi pulang dari kerja, cuti kerjanya berakhir hari ini.
Sudah kupersiapkan semua untuk menyambut malam yang kunanti ini, Azmi harus
tahu apa keputusanku.
Ibu hanya menatapku heran ketika
memasuki rumah dengan make-up yang
tidak biasa, tapi tidak berkomentar apa-apa. Hanya mengulum senyum kemudian
berbisik-bisik dengan Ayah yang duduk menonton televisi di ruang tengah.
“Assalamu’alaikum…” suara Azmi
terdengar limabelas menit setelah aku menyelesaikan persiapan untuk sedikit
mempercantik kamar. Semua bunga-bunga plastik sudah kusimpan dan mengganti
selambu menjadi berwarna putih. Bed cover
juga telah kuganti dengan warna yang lebih gelap, kontras dengan selambu yang
kupasang. Salah satu dinding di sisi kamarku telah kugantung frame dengan foto pernikahan kami.
Cklek.
Pintu kamar kami terbuka. Aku sudah duduk
berselonjor di tempat tidur dengan buku di tanganku, rambut panjangku yang
sudah aku creambath dan blow di salon langgananku tadi kubiarkan
tergerai. Sedikit kutangkap tatapan terkejut dari Azmi, namun wajah lelahnya
aku yakini segera leyap setelah melihat bagaimana penampilanku kali ini. Bahkan
nuansa kamar yang telah berubah tidak disadarinya.
“Baru pulang? Kenapa terlambat? Aku
sudah menunggumu daritadi,” aku menaggalkan bukuku di atas meja nakas kemudian
menghampiri Azmi yang berdiri mematung di depan pintu kamar kami yang telah tertutup
kembali.
Kubantu dia meletakkan tasnya ke sofa
dan kulepaskan dasi serta kancing kemejanya secara perlahan. Sementara itu
tatapannya kukunci dengan tatapanku.
“Sebaiknya kamu langsung mandi, sudah
aku siapkan air hangat,” kudorong bahunya supaya memasuki pintu di salah satu
sisi kamar kami.
Ketika Azmi menghilang di balik pintu
kamar mandi, aku hanya tertawa geli. Mimik wajah Azmi benar-benar seperti orang
bodoh. Tapi, ini memang rencanaku. Malam ini tidak boleh dia tidur
memunggungiku atau malah meninggalkanku untuk tidur di sofa lagi. Kalau sampai
dia kembali tidur di sofa itu, aku jamin besok pagi aku akan membuang sofa itu
jauh-jauh.
TTT
“Ada yang ingin aku bicarakan padamu,”
ucapku setelah Azmi menyelesaikan ritual mandi malamnya, dan telah duduk di
tepi tempat tidur dengan rambut setengah basah.
Aku menggeser posisi dudukku yang
segera diisi oleh Azmi, aku menatapnya dengan lembut sembari tersenyum, “waktu
itu kamu berkata memberiku waktu untuk memutuskan bukan? Malam ini aku ingin
memberitahumu mengenai keputusanku.”
“Kemarilah, aku ingin kamu mendengar
apa yang aku katakan dengan baik,” kutepuk pangkuanku yang segera dipahami
Azmi. Suamiku merebahkan diri dan meletakkan kepalanya dipangkuanku dengan
nyaman. Tanpa kata, tanpa ingin menyela apa yang telah aku susun. Mungkin
lelah, mungkin pasrah. Aku tidak tahu.
“Satu hari ini aku sudah memikirkan apa
keputusanku sambil membenahi kamar kita, dan aku mohon hargai keputusanku
seperti yang kamu janjikan,” aku memandang mata tegasnya yang juga menatap
mataku, supaya suamiku tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya tanpa kembali
ragu.
“Keputusanku adalah… berada di sini
bersamamu. Membangun asa keluarga kecil kita untuk entah berapa tahun ke depan,
aku tidak ingin menjadi manusia tidak tahu bersyukur dengan meninggalkan suami
yang telah aku miliki untuk meraih cinta lain. Bagaimana mungkin aku menyakiti
dua hati sekaligus? Hatimu dan… hatiku sendiri, aku…”
Ucapanku terputus ketika Azmi
menubrukku dengan pelukan protektifnya, “cukup. Jangan lanjutkan. Aku percaya
padamu. Maafkan aku.”
Pelukan itu terjadi cukup lama, aku
membiarkan Azmi menghirup sebanyak-banyaknya aroma sampo yang menyeruak dari
rambutku. Sementara aku menikmati detak jantungnya yang seolah seirama dengan
detak jantungku. Kata orang, jodoh kita memiliki irama jantung yang sama dengan
jantung kita bukan? Jadi aku tidak salah mengambil keputusan.
“Aku mencintaimu…” bisik Azmi lirih
yang kusambut dengan helaan napas lega. Ini yang kutunggu sejak Azmi
mengucapkan iab qobulnya, hatinya mencintaiku dengan sebenar-benarnya. Bukan
karena perjodohan di antara kedua orang tua kami, dan itu melegakan.
“Aku juga mencintaimu, entah sejak
kapan aku merasakannya. Tapi, jangan ragukan aku lagi. Tulang rusuk ini telah
sepenuhnya menjadi milikmu, takdir yang telah mempertemukan kita… jadi jangan
ingkari takdir ini. Apapun yang terjadi sebelumnya memang harus terjadi,”
ucapku yang segera dibalas kecupan lembut di pipiku.
Kami berdua melepas pelukan kami dan
saling memandang, lalu tertawa geli bersama. Konyol memang. Tapi mungkin jalan
inilah yang harus kami lalui untuk mencapai rumah tangga kami. Mungkin kami
akan menyakiti sebuah hati. Milik Akmal. Tapi, aku tidak akan menyesali keputusanku.
Bagaimana mungkin aku menyesal? Suamiku merupakan anak baik dan laki-laki baik
pula, mungkin bukan Akmal seperti yang aku inginkan. Namun, dialah pemilik
tulang rusuk ini.
Takdir ini telah menjadi mubram dan sebagai makhluk-Nya aku dan Azmi tidak memiliki
daya untuk merubahnya kecuali dengan bantuan sifat rahmanNya.
TTT
Untuk yang
terkasih, Najwa Renata (NR)
Mungkin ini
adalah surat terakhir yang aku titipkan kepada Azmi, karena kamu kini telah
menjadi bidadari untuk laki-laki lain yang lebih berani untuk meraih cintamu.
Maafkan aku yang sampai detik ini tidak mampu menunjukkan seujung hidung pun di
hadapanmu.
Mungkin aku
terlalu percaya diri yang menganggapmu akan terus menungguku hingga aku menemui
orang tuamu, tanpa memikirkan kemungkinan lain bahwa akan ada laki-laki lain
yang lebih dulu menemui orang tuamu.
Hidup, mati,
rezeki, dan jodoh merupakan rahasia Sang Pemilik Arsy.
Aku lupa
satu hal itu ternyata.
Aku di sini kali
ini sebagai teman yang akan selalu mendoakanmu, hidup bahagialah dengan
laki-laki itu. Bahagiakanlah suamimu, jagalah rahasianya, dan turutilah
permintaannya. Aku yakin kamu adalah gadis terbaik yang dapat mendampinginya.
Namun
maafkan aku karena hanya melalui surat ini aku mengatakan doa-doaku, mungkin
suatu saat nanti ketika hati ini telah sembuh aku akan mengatakannya langsung
padamu dan suamimu, Mahalul Azmi.
بارك
الله لكما وبارك عليكماوجمع بينكما في خير
Dari yang
selalu mendoakanmu,
Syifa’ul Akmal.
TTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar