Takdirmu Bukan Bersamaku
By: Miss Dhe
Dedaunan kering itu
beterbangan seiring dengan berhembusnya angin, gadis berkerudung ungu bernama Adira yang kusyu’ membaca buku
di bawah pohon itu seolah tidak peduli dengan dedaunan yang menjatuhinya.
Fokusnya baru teralihkan ketika dering ponselnya terdengar.
Luthfi is calling.
Adira menghela napas panjang
sebelum menekan tombol ‘yes’ di ponselnya.
“Halo, assalamu’alaikum….”
“…”
“Iya, Mas. Sudah kuambil,”
gadis itu melirik tumpukan undangan yang teronggok di sampingnya.
“…”
“Tidak apa-apa, Mas Luthfi
‘kan sedang banyak pekerjaan dan kebetulan aku yang senggang,” sahutnya lagi
berusaha untuk tetap menstabilkan suaranya.
“…”
“Iya, aku segera pulang.”
“…”
“Iya.”
“…”
“Wa’alaikumsalam…” Adira
kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas lalu mengemasi barang-barangnya, tidak
lupa undangan pernikahan yang baru saja dia ambil dari percetakan. Di mana
dalam undangan itu terdapat dua nama mempelai yang tercetak dengan huruf perak.
Luthfi Kafabi & Adira
Salsabila
‘Ya Allah jangan… jangan
biarkan perasaan ini terus berlanjut. Ajari aku menerimanya, supaya tidak ada
yang terluka,’ bisiknya dalam hati kala membaca namanya menjadi salah satu
mempelai dalam undangan tersebut. Bukan Adira tidak menginginkan pernikahan
yang disiapkan orang tuanya tersebut, hanya saja gadis duapuluh tiga tahun itu
perlu waktu untuk menumbuhkan perasaannya terhadap Luthfi. Waktunya masih dua
bulan lagi untuk mempersiapkan segala hal pra-pernikahannya dengan Luthfi,
laki-laki baik-baik dari keluarga baik-baik pula yang menjunjung komitmen
kejawennya dalam menentukan pasangan bagi putra tunggalnya yaitu bibit,
bebet, dan bobot.
^^^
“Fahmi? Kamu di sini?” suara
Adira mengejutkan laki-laki bertubuh tegap yang tengah mengamati ikan
peliharaan Ayah Adira di kolam depan rumah. Senyum khasnya yang selalu Adira
sukai tersungging begitu saja menyambut kedatangan gadis yang akan segera
melepas masa lajangnya itu.
Fahmi mengangguk, “Bulek
memintaku mengantarnya, katanya mau
kondangan,”
sahutnya tanpa mengenyahkan senyumannya.
“Baru dari mana?”
“Hhe?” mata Adira membulat,
lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan basa-basi Fahmi. Padahal biasanya dia
akan segera bercerita panjang lebar kepada laki-laki yang sejak SMA menjadi
teman berceritanya itu. Tapi, kali ini pertanyaan itu benar-benar sedang tidak
ingin dia dengar dari Fahmi.
“Fahmi, ayo,” suara Ibu Adira
menginterupsi kecanggungan yang tercipta diantara Adira dan Fahmi. Gadis itu menghela
napas lega, setidaknya kedatangan Ibunya menyelamatkan dirinya dari pertanyaan
Fahmi yang seharusnya menjadi pertanyaan yang
biasa dia dapatkan.
“Kamu sudah pulang? Baguslah,
kamu masak untuk nanti malam ya. Ibu kondangan dulu, ayo kita berangkat,” Ibu
Adira memberi instruksi yang segera dipatuhi Fahmi maupun Adira.
“Assalamu’alaikum…” seru
Fahmi sebelum dia melajukan mobilnya meninggalkan Adira yang masih berdiri
terpaku di depan rumahnya bersama perasaannya yang sulit dia definisikan.
“Wa’alaikumsalam,” sahut
Adira setengah berbisik. Indera penglihatannya masih tertarik dengan mobil
berwarna silver yang mulai menghilang di jalanan.
‘Dia laki-laki yang baik, aku
yakin dia akan mendapatkan gadis yang jauh lebih baik dariku. Dan dia… bukan
jodohku,’ Adira membalikkan badannya kemudian masuk ke dalam rumahnya yang
entah mengapa tiba-tiba terasa hampa.
^^^
Khoirul Fahmi.
Nama itu tertera di barisan
paling atas dalam susunan kepanitiaan acara pernikahannya, kaki Adira lemas
mengetahui kenyataan itu. Selama ini dia berusaha untuk tidak melibatkan Fahmi
secara langsung dalam acara pernikahannya, tanpa bisa dipungkiri Adira tahu
kalau rasa itu masih ada di hatinya maupun Fahmi.
“Kenapa harus Fahmi, Bu?”
Tanya Adira malam itu ketika keluarganya selesai makan malam bersama seperti
biasa.
“Fahmi anak yang rajin juga
pintar, Ibu percaya padanya. Lagipula dia orang yang paling dekat denganmu,”
sahut Ibunya kemudian berlalu, membawa serta piring-piring kotor ke dapur untuk
dicuci.
‘Justru karena Fahmi orang
terdekatku selama ini,’ lagi-lagi Adira hanya bisa berbisik dalam hatinya tanpa
bisa menyuarakannya. Fahmi, laki-laki itu adalah laki-laki pertama yang membuat
Adira malu terhadap kerudung yang dipakainya. Bagaimana tidak? Laki-laki itu
dapat meruntuhkan pertahanan yang telah Adira jaga baik-baik selama hidupnya
hingga rasa lembut nan menggelitik itu hinggap padanya.
Adira menghembuskan napas
panjang, “Astaghfirullahaladzim…” ucapnya berulang kali. Dia harus memantapkan
hatinya, dia sadar cobaan ketika menuju pelaminan memanglah berat. Banyak hal
tidak terduga yang hadir dan mencoba menggoyahkan kemantapan hatinya. Gadis itu
sadar harus kuat dan tidak terjerumus dalam pesona yang hanya mengandalkan
syahwat semata karena dirinya akan dikuasai nafsu. Adira tidak ingin menyakiti siapapun termasuk Luthfi
dan juga Fahmi tentunya.
^^^
Untaian
kata-kata sakral itu terucap dari mulut Luthfi dengan lancar tanpa pengulangan.
Adira menghela napas panjang seiring air mata yang mengalir di pipinya, hatinya
semakin diyakinkan bahwa Fahmi. Teman baiknya sejak dulu bukanlah jodohnya.
Adira hanya mampu mengintip dari balik jendela kamarnya di lantai dua ketika
ijab kabul itu diucapkan Luthfi yang kini telah sah menjadi suaminya.
Adira
menyeka air matanya seraya menundukkan kepalanya, ‘Ya Allah... teguhkan hatiku.
Jangan sampai aku goyah dan mengingkari suratan takdir yang telah engkau
tetapkan. Inilah jalan yang harus aku tempuh, Ya Allah...’
“Aku
rela kamu bersanding dengan dia, aku tidak akan pernah mengungkit semua yang
pernah kita lalui dulu,” bisik sebuah suara yang seketika membuat Adira
terisak. Bagaimana tidak? Kalimat itu keluar dari mulut Fahmi yang selama ini
hanya diam. Yang awalnya Adira kira sebagai bentuk ketidakpedulian, tapi
ternyata Fahmi hanya tidak ingin Adira terlalu memikirkan perasaannya dan tetap
melanjutkan perjodohan.
“Dia
telah berjanji di hadapan orang tuamu dan yang terpenting dia sudah berjanji di
hadapan Tuhannya kalau dia akan menjagamu dan tidak akan menyakitimu,” Adira
merasakan bahunya bergetar mendengar ucapan Fahmi yang sebelumnya Adira kira
tidak akan pernah Fahmi ungkapkan.
Seketika
Adira membalikkan badannya dan menatap Fahmi ketika merasakan bahunya basah,
mata bulatnya membesar melihat bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang,
“Fahmi?”
Fahmi
tersenyum menenangkan, walaupun tidak dapat dielakkan kalau matanya telah basah
oleh air mata, “aku baik-baik saja, apapun yang terjadi nantinya kamu harus
yakin kalau inilah jalan yang benar. Allah tidak akan memberikan apa yang tidak
kita butuhkan ‘kan?”
“Hmm,
saatnya aku pergi. Dan... selamat atas pernikahanmu semoga hubungan kalian
barokah sampai akhirat nanti, assalamu’alaikum,” pamit Fahmi kemudian berlari
meninggalkan gadis yang entah sejak kapan selalu dipikirkannya, sebelum berita
tidak sedap menghampiri. Membiarkan sesak memenuhi dadanya dengan menikmati
sensasi perih pada tiap helaan napasnya.
‘Aku
tidak menyesal, aku tidak menyesal Ya Allah...’ ucap Fahmi dalam hati pada tiap
langkahnya. Pasalnya, jika saja dia lebih dulu mengatakan pada orang tua Adira
bahwa dia menyukai anak gadis mereka, mungkin saat ini yang bersanding dengan
Adira adalah dirinya.
‘Ya
Allah, Ya Rabb... jangan sampai aku menjadi putus asa dan kufur akan
nikmat-nikmat-Mu selama ini... mungkin hati ini terluka, namun aku tidak ingin
hanya karena cintaku pada seorang gadis aku mengorbankan cintaku pada-Mu... aku
ingin hanya mencintai-Mu, bantu aku Ya Rabb...’ bisiknya lagi tanpa mampu
membendung air mata yang telah menganak sungai di pipinya.
‘Aku.
Khoirul Fahmi, bukanlah jodoh gadis yang begitu aku cintai yaitu Adira Salsabila
yang kini telah halal bagi laki-laki yang bahkan selalu bersamaku disetiap
hembus napasku. Luthfi Kafabi, sahabatku,’ Fahmi menjatuhkan diri di atas
sajadah di kamarnya, air matanya terus mengalir. Mengadukan kesedihan kepada
Sang Penciptanya.
Walaupun
perih, takdir ini telah menjadi mubram dan sebagai makhluk-Nya Fahmi tidak
memiliki daya untuk merubahnya.
~The End~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar