Senin, 25 Juni 2012

[Cerpen] Dear Library


Dear Diary Library…
By: Miss Dhe

Hening, tenang, dan kondusif, suasana paling kusukai ketika berada di perpustakaan. Tidak ada kegaduhan yang dapat mengganggu konsentrasiku membaca buku, bukan buku berat seperti yang dipikiran orang-orang tapi lebih kepada novel, novel remaja yang penuh dengan cerita picisan dan cengeng. Bukan seperti pandangan orang awam tentang seseorang yang suka dengan perpustakaan adalah kutu buku. Hmm, tapi istilah itu tidak sesuai jika disandingkan denganku. Bagaimanapun aku lebih suka membaca novel daripada buku-buku pelajaran, bahkan saat hampir ujian. Jangan tiru kesukaanku karena ini sudah ada sejak aku lulus sekolah dasar, dan aku selalu lebih nyaman dengan kebiasaanku itu.


Aku mengalami banyak hal tak terduga ketika di perpustakaan, hal itu juga yang membuat aku lebih suka perpustakaan ketimbang tempat-tempat hangout yang lain. Selain terkesan berbobot, perpustakaan terdapat banyak novel bagus yang aku inginkan.
!!!
Sore ini seprti biasa aku duduk di bagian paling kusukai di perpustakaan, di sisi utara bagian rak-rak novel yang menghadap tepat kearah jendela. Pemandangan  yang menampakkan pepohonan menyejukkan mata serta dapat melihat lalu-lalang orang di bawah sana.
“Ryn, duluan ya,” ucap Elza, teman satu jurusanku di komunikasi, dengan berbisik. Taulah aturan di perpustakaan seperti apa.
“Hmm, ya. Aku masih nanti,” sahutku seraya menatap Elza sekilas sambil sedikit menyunggingkan senyum. Elza mengangguk kemudian beranjak. Aku menghela napas panjang, melihat sekelilingku yang tenang sementara Elza semakin menjauh. Ada sesuatu yang kutunggu setiap aku datang ke perpustakaan, mungkin tidak masuk akal jika dipandang orang lain. Namun, siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti.
!!!
Matahari semakin condong ke barat menyisakan mega jingga yang indah, aku melakukan sedikit gerakan peregangan setelah duduk hampir tiga jam di perpustakaan ini.
“Saatnya pulang,” ucapku seraya mengemasi barang-barangku lalu mengembalikan buku yang tadi kubaca ke raknya. Ternyata penggunjung yang bertahan hingga malam menjelang ini cukup banyak, buktinya hanya tersisa beberapa kursi kosong.
“Meryn?” suara dengan nada ragu itu membuatku menoleh mencari sumber suara, agak heran memang. Tapi laki-laki yang kini berdiri tepat di sampingku itu malah tersenyum lebar ketika melihat wajahku.
“Kamu tidak ingat aku? Wisnu, teman SMP Alen. Dulu waktu SMA kita sering chatting lewat facebook, masa’ kamu lupa?” cerocos laki-laki itu membuat otakku mau tak mau harus memutar memoriku. Dan benar saja laki-laki itu Wisnu, kakak kelasku ketika SMP. Hmm, kenapa aku menjadi lupa dengannya? Seharusnya aku tidak pernah melupakannya. Apa ini pertanda aku mulai melupakan ‘dia’?.
“Ya, aku ingat. Mau cari buku? Sepertinya kamu bukan mahasiswa di sini,” tanyaku lebih mengakrabkan diri.
“Mmm, ya. Aku sedang menggarap skripsi jadi butuh banyak referensi buku,” jawabnya santai, menunjukkan sisi coolnya yang dulu sempat membuat sahabatku, Unie, klepek-klepek.
“Oh, begitu? Semoga lancar saja skripsimu. Kamu sendirian?” aku menatap sekeliling kami yang tidak ada siapapun, aku berharap dia tidak sendirian. Tapi… aku tidak tahu ah!
Wisnu tersenyum manis, “ya, aku sendirian. Lalu dengan siapa lagi? Alen? Tidak mungkinlah,” cetusnya dengan sorot mata yang tidak sama dengan mimik wajahnya. Matanya tampak lebih muram.
Karena tidak mau ber-negative thinking aku basa-basi bertanya, “Alen sibuk dengan skripsinya juga?”
Wisnu menatapku bingung, sementara aku membalasnya dengan tatapan lebih bingung. Kenapa dia menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan ucapanku? Aku rasa tidak.
“Kamu tidak tahu?” tanyanya menuntut.
“Tahu apa?” balasku dengan bertanya juga plus tampang yang kupasang se-innocent mungkin, karena aku memang tidak tahu apa yang terjadi antara Wisnu dengan Alen setelah pertemuan terakhir kami diacara perpisahan SMP kami.
Wisnu menarik tanganku dan mengajakku duduk di salah satu kursi, “kamu benar tidak tahu?” Ulang Wisnu sekali lagi.
“Tahu apa, Wis? Katakan jika itu memang penting buatku,” sahutku mulai penasaran sepertinya ada hal serius menimpa dua sejoli yang sudah bersahabat sejak masa putih biru itu dan aku tidak mengetahuinya. Well, aku memang tidak pernah mengerti bagaimana keadaan mereka setelah lulus SMP, terlebih lulus SMA.
Bukannya menjawab, Wisnu malah tampak gelisah. Dia meremas tangannya yang tampak berkeringat. Membuat ketakutan seketika menyergapku, pikiran-pikiran konyol terlintas di kepalaku mengenai hubungan keduanya.
“Apa ada masalah serius? Persahabatan kalian tidak putus ’kan?” tebakku ngeri, terlalu sayang jika hubungan keduanya pupus. Sejak SMP menjalin persahabatan, dan harus berakhir begitu saja.
Wisnu menggeleng, wajahnya menyaratkan ada hal sangat serius dan lebih urgent dari putusnya persahabatan mereka seperti hipotesaku tadi.
“Ng… ternyata memang kamu belum tahu, Ryn. Tapi, aku mohon jangan sedih setelah aku mengatakannya ya,” ucap Wisnu sungguh-sungguh, mau tak mau akhirnya aku mengangguk juga walau tidak mengerti alur pembicaraan laki-laki itu.
“Alen… dia… mengalami kecelakaan hampir satu bulan yang lalu,” ungkap Wisnu ragu, aku seketika mendekap mulutku yang nyaris menganga karena shock, Wisnu menghela napas panjang untuk menetralisir hatinya, “dan, sampai sekarang dia belum sadarkan diri.” Lanjutnya, membuat tubuhku seketika lemas.
“Apa??” sahutku serak, air mataku mengalir begitu saja dari pelupuk mata. Alen memang bukan siapa-siapa, tapi bagaimanapun juga dia pernah mengisi penuh hatiku, bahkan hingga detik ini rasa itu masih ada.
“Kamu mau ‘kan menemuinya di rumah sakit?” Tanya Wisnu penuh harap, yang kubalas dengan anggukan kepala mantap. Tanpa Wisnu mintapun aku akan menemui Alen bagaimanapun caranya.
!!!
Bau obat menyeruak dari setiap ruangan yang kami lewati, aku berjalan beriringan dengan Wisnu yang tidak mengucapkan sepatah katapun sejak menginjakkan kakinya di rumah sakit ini. Aku menepuk bahunya pelan lalu berkata.
“Jangan merasa bersalah seperti ini, bukan salahmu jika keadaan Alen hingga sekarang belum membaik.”
Wisnu tersenyum tipis lalu menghela napasnya, “aku tahu. Hanya saja, kalau waktu itu aku tidak egois dan tidak meninggalkannya sendirian….”
“Stt… tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi bahkan sedetik kemudian, walaupun aku tidak tahu apa yang terjadi waktu itu.” Potongku sebelum Wisnu menyelesaikan ucapannya. Tidak ada gunanya saat ini dia menyalahkan diri sendiri, toh dengan menyalahkan diri sendiri Alen juga tidak kunjung sadar. Wisnu tersenyum lalu mengacak rambutku gemas.
“Dasar! Kalian sama saja.” Ucap Wisnu yang membuatku bingung dengan kata ‘kalian’. Namun, aku tidak mau ambil pusing, yang terpenting saat ini adalah menjenguk Alen dan memastikan keadaannya.
!!!
Wisnu menyodorkan sebuah buku berukuran sedang yang tampak seperti buku diary itu, sesaat sebelum aku masuk ke ruang rawat Alen.
“Sebaiknya kamu baca ini sebelum memutuskan masuk,” ucapnya dengan wajah yang sulit diartikan.
“Apa ini?” Tanyaku walau sudah bisa menebak buku apakah itu, ada sedikit getaran di dadaku. Takut jika pikiran-pikiran negatif yang berseliweran di kepalaku menjadi kenyataan.
Laki-laki itu menghela napasnya, seolah ada yang mengganjal di dadanya, “itu… buku diary Alen, sebaiknya kamu baca dulu sebelum kamu benar-benar menemui Alen. Aku takut kamu akan menyesal nantinya.”
Deg! Rasa penasaran mengalahkan rasa takutku, maka cepat-cepat aku baca buku yang kini berada di tanganku itu.
!!!
Hatiku memberontak, menolak kakiku untuk melangkah menemui Alen yang terbaring di dalam ruangan yang tepat berada di hadapanku. Buku diary Alen yang membuat kaki ini seakan lemas tak bertulang. Air mataku kembali tak terbendung lagi.
“Aku tahu ini pilihan sulit untukmu,” suara asing itu membuyarkan lamunanku. Seorang laki-laki yang tatapan matanya mirip milik Alen mendekatiku dan duduk di sampingku, “aku Adry, kakak Alen.”
Kuseka air mataku dan mencoba menyunggingkan senyum kepada kakak Alen itu, namun gagal. Seakan otot tersenyumku tidak berfungsi.
“Alen banyak cerita tentang kamu. Manis, ceria, ramah, dan bla bla bla. Dia selalu memujimu di hadapanku,” aku terbelalak mendengar cerita Kak Adry itu, walau aku sudah tahu selama ini Alen juga menyukaiku lewat buku diary yang baru saja selesai kubaca, sebesar apakah rasa sukanya terhadapku kalau begitu?
“Dia benar-benar pintar menyimpan perasaannya darimu sepertinya,” imbuh Kak Adry seraya terkekeh. Namun, malah lebih mirip dengan isakan tertahan.
“Temui dia dan katakan kalau kamu juga menyimpan perasaan yang sama,” ujar Kak Adry yang dengan serta merta aku tolak.
Aku menghembuskan napas kasar sambil menatap Kak Adry tak percaya, “jika aku menemuinya, apakah Alen akan membuka matanya?” Tanyaku menuntut, “apa dia akan tersenyum padaku lagi?”
“Mohon mengertilah, aku hanya tidak ingin melihat adikku satu-satunya berlarut-larut dalam penderitaan,” desah Kak Adry tanpa melihatku. Namun, aku sempat melihat ada bulir-bulir bening yang siap meluncur dari pelupuk matanya.
“Aku tidak sanggup jika harus melihat dia tidak pernah membuka mata lagi, Kak, sungguh!” Ungkapku seraya menutup wajahku dengan kedua tangan, aku tidak mau menjadi alasan mengapa Alen pergi untuk selamanya.
Tanpa kuduga, Kak Adry berbalik dan memegang kedua belah pundakku, “aku mohon, Meryn. Temui Alen, selama ini dia hanya menunggumu… biarkan dia bahagia dengan caranya sendiri,” ucap Kak Adry mencoba meyakinkanku.
Aku menundukkan kepalaku dalam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Berada dalam situasi seperti itu membuat otakku seketika blank, tidak bisa memikirkan solusi yang baik. Dan, pada saat yang sama sisi ego-ku muncul sebagai dominan.
Kak Adry menghela napas panjang, mungkin tahu bagaimana sulitnya posisiku saat ini. Aku baru saja menemukan keberadaan Alen setelah bertahun-tahun tidak tahu kabar beritanya, bahkan dari Wisnu sekalipun. Karena sahabat Alen itu menyembunyikan kedekatannya dengan Alen atas permintaan Alen sendiri.
!!!
Bulan perak menemaniku yang hanya mampu duduk terdiam di samping Alen yang terbaring lemah di ranjangnya, aku tidak berani mengeluarkan sepatah katapun. Seakan lidah ini kelu untuk sekadar mengatakan ‘hai’.
Setelah beberapa lama, ego-ku mulai terkalahkan oleh hati nurani. Aku tidak sanggup melihat Alen yang terbaring lemah seperti itu dan hidup dengan bantuan alat-alat medis yang di samping menopang hidupnya juga menyakitinya.
Kuberanikan menyentuh tangannya dan menggenggamnya, “hai… Alen, kita bertemu lagi,” cetusku sambil menahan tangis, “aku datang untuk menemuimu, seperti yang kamu tulis dalam diary-mu.”
“Maaf ya, aku lancang membaca-baca buku diary-mu. Itu juga bukan sepenuhnya kemauanku, Kak Adry dan Wisnu yang memaksaku,” kupaksakan bibirku ini untuk tersenyum. Mencoba mengajak bicara laki-laki yang telah coma selama hampir satu bulan itu, atas permintaan keluarga dan sahabat baiknya.
“Mmm, aku baru tahu kalau selama ini kamu memperhatikanku diam-diam,” ucapku lebih rileks, seakan Alen tidak dalam keadaan tak sadarkan diri, setelah beberapa saat diam, “aku pikir kamu type orang yang cuek, bahkan acuh tak acuh. Kamu pasti tahu kalau aku sempat mencuri-curi perhatian darimu, haha, konyol sekali memang. Tapi… kamu mengacuhkanku bukan? Kamu bersikap seolah-olah aku tidak ada di sekitarmu.”
Air mataku mulai mengalir mengenang kejadian ketika masa putih biruku, dadaku tiba-tiba sesak mengingat laki-laki yang tempo dulu masih aku curi-curi perhatiannya itu kini terbaring tak berdaya tepat di hadapanku.
“Aku juga menyukaimu, Alen… sungguh! Aku masih menyukaimu seperti dulu…” aku menggenggam tangannya lebih erat, “satu kali lagi aku katakan padamu, aku menyukaimu seperti kamu menyukaiku.”
Beberapa saat kemudian fluktuasi dari detector detak jantung di meja kecil di samping ranjang Alen berubah menjadi sebuah garis lurus disertai bunyi ‘tit’ panjang yang memekakkan telingaku.
Aku menelungkupkan wajahku di ranjang Alen dengan linangan air mata yang sama sekali tidak bisa kubendung, hati ini… hati yang selama ini menuntut haknya kembali ditinggalkan penghuninya. Penantianku berhenti sampai di sini.
!!!
Suasananya masih sama, hening dan kondusif seperti biasa. Perpustakaan. Di tempat ini, aku menyimpan semua kenanganku dengan Alen, dari pertama kali aku bertemu dengannya yang membuatku seakan tersengat aliran litrik hingga senja menjemputnya beberapa bulan yang lalu.
“Ryn?” panggilan Wisnu yang khas membuyarkan pikiranku yang tengah melayang-layang entah ke mana. Kutolehkan kepalaku menatap Wisnu yang sudah duduk di sampingku, “bagaimana skripsimu?” Tanyaku basa-basi sembari tersenyum.
Wajah Wisnu bersemu merah, “baik-baik saja, kemarin lusa aku selesai siding,” ucapnya dengan nada tersipu, “Oh ya… aku sudah membacanya.”
“Baca apa?” Tanyaku pura-pura tidak tahu, sementara Wisnu malah terkekeh. Tahu, sebenarnya aku tidak ingin mengungkit hal itu hingga waktu yang tidak bisa aku tentukan.
Wisnu menghela napas panjang sembari tersenyum, “aku pikir Alen akan sangat senang jika dia tahu kisah cintanya ditulis menjadi sebuah novel, dia suka hal-hal yang romantis.”
Senyumku memudar mendengar ucapan Wisnu itu, ingatanku seketika tertumbuk pada laki-laki yang kini sudah pergi mencari kebahagiaannya sendiri. Cintanya tetap terjaga tanpa ternodai hingga senja menjemputnya.
“Jangan bersedih lagi, sudah hampir enam bulan Alen pergi. Kamu harus bangkit seperti tokoh pada novel yang kamu tulis,” ungkap Wisnu menasihatiku, yang kubalas dengan seuntai senyum.
!!!
Juni 2006
Hari ini adalah hari terakhirku di sekolah ini, sedih memang… seakan baru kemarin aku menjalani masa orientasi siswa atau biasa disebut MOS. Hmm, Aku kembali melihatnya duduk sendirian di perpustakaan dengan sebuah novel di tangannya.
Sebenarnya yang membuatku berat meninggalkan sekolah ini adalah dia. Dia yang sejak pertama kali aku melihatnya sudah meluluhkan hatiku.
Sudah berkali-kali aku memergokinya mencuri pandang kearahku, bahkan mencuri-curi perhatianku ketika aku berada di perpustakaan sekolah kami. Namun, aku selalu bersikap sok cool di depannya. Karena jujur saja, dadaku tidak bisa kukendalikan jika aku melihatnya, jadi terpaksa aku pura-pura mengacuhkannya.
Dia melepas kepergianku dari sekolah ini dengan tatapan tidak rela, benar-benar membuatku berat melangkahkan kakiku melewati gerbang utama. Maafkan aku, aku akan selalu di sekitarmu walau tanpa sepengetahuanmu… aku menyukaimu…Meryn, aku benar-benar menyukaimu…
!!!
Mei 2012
Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin sekali menemuinya. Kata Wisnu, dia sering duduk berjam-jam di perpustakaan dan khusyu’ membaca novel. Hobby-nya tidak pernah berubah.
Meryn, kalau saja aku berani membalas perasaanmu mungkin saat ini kita sudah menjadi sepasang kekasih. Namun, aku terlalu takut menyerahkan hatiku ini kepada siapapun, termasuk kamu. Selain itu, aku tidak ingin membuat masa remajamu terlewat hanya karena keegoisanku untuk bersamamu.
Tapi aku yakin, suatu saat nanti kita akan bertemu lagi… mungkin di tempat favoritmu. Perpustakaan.

The End

NB: the next cerpen khayalanku......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar