Kamis, 03 Mei 2012

[Cerpen] My First Accident Love



My First Accident Love
By: Miss Dhe

Mendung menyelimuti langit sore ini, hati Meta serasa masih beku dengan kejadian enam tahun lalu. Masih tampak dengan jelas guratan wajah cowok yang  telah mampu membuatnya merasakan apa itu cinta untuk pertama kali. Meta menitikkan air mata mengingat setiap inchi kejadian di masa SMPnya itu.
Apa ini yang dinamakan cinta pertama? Awalnya tak ada kesan yang istimewa bagiku, namun semakin hari hati ini semakin terpaut padanya walau dia sudah tak menghirup udara di tempat yang sama denganku, dia sudah pergi sejak lama.
Kian... kau angin yang terlalu sejuk untukku, sampai ingatanku tak mampu untuk mengenyahkanmu.
Enam tahun sudah hati ini tersita olehmu, tak ada yang lain yang dapat menggantikanmu. Sungguh! Aku tidak pernah berbohong atas perasaanku sendiri, terlalu menyakitkan jika harus membohongi diri terlalu lama.
Meta menatap lembar jawab UTS pertama di SMPnya dulu, “andai saat itu aku dapat lebih dekat denganmu, mungkin saat ini aku tidak akan sesakit ini. Hatiku terlalu rapuh menerima semua ini” Meta berkata pada dirinya sendiri dengan air mata berurai.
“Bahkan aku tidak pernah tahu siapa dirimu sebenarnya, yang aku tahu hanya, kamu adalah kakak kelasku yang telah membuat aku tergila-gila sampai aku melupakan logika” Meta memeluk lembar jawaban bahasa daerah, satu-satunya kenangan yang mengingatkan Meta dengan Kian, karena Kian membantunya menjawab beberapa soal. Disaat itulah titik paling terdekat antara Meta dan Kian.
“Tak cukupkah kamu menjajah hatiku selama enam tahun ini? Sungguh sakit hati ini menantimu dalam angan, aku hanya bisa berharap suatu hari nanti kita akan berjumpa kembali” lirih Meta disela tangisnya yang tertahan. Hatinya yang selama ini terluka seakan disiram air garam hingga terasa amat perih.
@@@
Meta berjalan sendirian di jalan setapak kampusnya yang rindang, dia sengaja mencari tempat yang sejuk untuk sekadar melepaskan sejenak penat hatinya. Terus menerus memikirkan orang di masa lalu membuatnya lelah, bahkan frustasi.
Tanpa sengaja Meta menjatuhkan buku di tangannya, dengan malas Meta hendak memungut bukunya kembali, namun urung karena ada tangan yang lebih dulu memungutnya.
“Ini milikmu” ucap orang itu sembari tersenyum.
Seketika tubuh Meta kaku, seakan otak tak mampu mengendalikannya. Matanya lurus menatap orang yang berdiri tegak dihadapannya, dengan senyuman yang sangat dikenalnya.
“Hei, ini milikmu” ulang orang itu ketika Meta hanya terbengong menatapnya.
“Oh, oya. Terima kasih” sahut Meta sembari menundukkan kepalanya, Meta mengambil alih buku yang diulurkan orang dihadapannya.
“Sayang...” ucap seseorang seraya menggamit lengan orang itu dengan manja, gadis cantik dengan rambut tergurai indah di bahunya.
“Hei, kenapa lama sekali?” rajuk orang itu seperti anak kecil, kentara sekali kalau keduanya adalah pasangan kekasih.
“Maaf...” sahut si gadis sambil menatap sang kekasih dengan tatapannya yang menggoda.
“Ehm, terima kasih atas bantuanmu... permisi” sela Meta yang sudah tidak tahan dengan pemandangan di depannya itu, terlalu menyakitkan untuknya.
Sangat tidak berperi kemanusiaan!!! Tariak Meta dalam hati.
Meta meremas bukunya sadis, giginya gemeretak sangking kesalnya, “arrghhhh!!!! Kenapa kamu menyebalkan sekali??? I hate you!!!” teriak Meta sekencangnya, tak luput orang-orang yang berada tak jauh darinya menjadikan Meta bahan tontonan, buku di tangannya sampai terjatuh ke aspal kembali. Namun beberapa saat kemudian air mata Meta meleleh dengan suksesnya, hatinya tercabik-cabik melihat kejadian yang baru saja dialaminya.
“Kenapa seperti ini? Aku pikir kamu dapat merasakan apa yang kurasakan... setiap detik aku tidak bisa mengacuhkanmu, bahkan setelah lima tahun tidak melihatmu aku masih dapat dengan mudah mengenalimu” Meta memungut bukunya lalu membantingnya ke aspal, buku itu menjadi pelampiasan kekesalannya terhadap orang yang baru saja ditemuinya.
“Hei, apa-apaan kamu? Menangis disini, sendirian pula” sapa seseorang seraya mengulurkan sapu tangan kepada Meta. Meta menyeka air matanya dengan punggung tangan lalu bangkit dan menghadap orang yang telah menghentikan tangisannya.
“Aku hanya kelilipan” elak Meta tak masuk akal, sudah jelas-jelas dia berteriak histeris sambil membanting-banting buku.
“Oh...” orang itu mangut-mangut pura-pura percaya. Mana ada orang percaya dengan ucapan Meta kalau dia sudah melihat kejadiannya.
“Kenalkan namaku Arza” orang itu mengulurkan tangannya sembari tersenyum manis.
“Meta” sahut Meta tak begitu peduli, hatinya sedang kacau tapi malah diajak kenalan.
“Kenapa? Baru di putus pacar?” tanya Arza seraya memungut buku Meta dan memberikannya kepada pemiliknya.
“Aku tidak punya pacar, mana mungkin aku bisa putus dengan pacarku” ungkap Meta agak terkesan ketus.
Arza tertawa kecil, “jadi seperti itu? Emm bagaimana kalau aku yang jadi pacar kamu?”
Kontan Meta membelalakkan mata belonya, tidak ada hujan tidak ada badai tiba-tiba ada orang yang memintanya menjadi pacar padahal baru saja berkenalan, tepat setelah melihat orang yang di puja bersama gadis lain pula. Lengkap sudah hal-hal mengerikan terjadi pada Meta hari ini.
Meta tertawa garing, “ng... Mas, tolong ya jangan buat saya jadi tambah frustasi. Cukup satu orang saja hari ini yang ingin saya tonjok mukanya” cetus Meta dengan tatapan serius. Dia memang selalu serius dalam berbicara, apalagi disaat seperti itu.
“Memang kenapa? Kamu pikir aku main-main?” Arza membalas tatapan Meta dengan tatapan yang sama seriusnya.
Meta menelan ludah, ngeri juga berhadapan dengan orang asing seperti itu. Siapa tahu orang itu termasuk orang yang nekat, kan bisa gawat urusannya.
“Jangan menatapku seperti itu, aku anak baik-baik” cetus Arza seakan dapat membaca pikiran Meta yang sudah ngelantur.
Meta menghembuskan napas kesal, “yah siapa tahu, jaman sekarang tampang bisa menipu. Banyak yang tampangnya polos tapi ternyata mengerikan”
Arza terkekeh pelan, “tapi aku tidak seperti itu, apa mataku terlihat berbohong?” Arza mendekatkan wajahnya supaya Meta dapat melihat tatapan matanya dengan jelas.
Meta mendorong bahu Arza menjauh, “jangan buat aku benar-benar menonjokmu!”
Bukannya takut, Arza malah semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Meta. Tanpa babibu lagi Meta melayangkan tinjunya ke wajah mulus Arza yang membuat cowok itu terjengkang ke aspal.
“Sudah kuperingatkan sejak awal’kan? Jangan ganggu aku lagi!” bentak Meta kemudian meninggalkan Arza yang masih terduduk sambil menatap Meta tak percaya.
@@@
Daun-daun berguguran mirip suasana autumn di luar negeri, Meta tengah asyik membaca buku di bawah pohon akasia sambil mendengarkan musik dari Ipodnya.
“Hai...” sapa Arza riang seraya duduk di samping Meta, Meta menatap arza dengan ekor matanya. Kejadian beberapa hari lalu masih teringat jelas dibenaknya.
“Aku mau minta maaf...” cetus Arza sambil mengulurkan sebatang cokelat kepada Meta.
Meta melepas earphone-nya lalu menatap Arza serius, “kenapa bisa sampai disini?” tanya Meta dingin.
“Aku juga mahasiswa disini, bahkan aku lebih dulu ada disini daripada kamu” Arza tersenyum lembut sambil menatap Meta yang tampak tak begitu peduli dengan kehadirannya.
Meta mendengus kesal seraya bangkit, dia tidak tahan berada di jarak yang terlalu dekat dengan orang yang tiba-tiba muncul disaat yang sangat tidak tepat itu. dengan santainya Arza mengikuti kemana Meta pergi, dia selalu menjajari langkah Meta yang sengaja diperlebar.
“Cukup!” bentak Meta seraya menghadap Arza yang hanya senyum-senyum tidak jelas, “apa maumu sebenarnya?”
Arza menggeleng sembari menatap Meta polos.
“Lalu kenapa kamu mengikutiku?” tanya Meta berusaha bersabar dengan menurunkan volume suaranya.
“Karena aku mau” jawab Arza singkat, membuat kesabaran Meta tak bisa diulur lagi. Kontan Meta melempar buku ditangannya dan berlari sekencangnya meninggalkan Arza yang hanya terbenging ditempatnya. Beberapa saat kemudian Arza tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan Meta yang aneh itu.
“Dasar konyol! Apa-apaan dia membohongi perasaannya sendiri dengan orang macam Cery yang manjanya overdosis? Padahal ada yang lebih baik menunggunya, yah walaupun kelakuannya agak aneh” gumam Arza kemudian memungut buku Meta dan beranjak.
@@@
Arza menyeret tangan sahabatnya dengan keki setelah berjam-jam dibujuk tanpa ada hasil, terpaksa Arza menggunakan cara nekat.
“Apa-apaan sih kamu, Za?” tanya sahabatnya tak bersemangat.
“Kamu yang apa-apaan?  Jangan jadi orang bodoh!” sahut Arza sudah tidak mau mentolerir lagi sikap sahabatnya itu.
Sahabat Arza menghela napas berat, “aku memang bodoh selama ini mengacuhkan dia, tapi tidak mungkin’kan aku tiba-tiba muncul padahal dulu kita tidak pernah saling kenal?” jelas sahabatnya setengah berkilah.
“Why not? Menurutku dia akan mengira semua itu adalah takdir” Arza menghentikan langkahnya lalu menatap sahabatnya serius.
“Aku tidak sekuat itu, Za, aku tidak sanggup melihat tatapan matanya. Aku tidak akan sanggup bernapas kalau aku bertemu dengannya lagi, aku mohon...”
Arza menghela napas panjang melihat wajah sahabatnya yang memelas, sahabatnya itu selalu sukses merajuk kepadanya.
“Kali ini kamu harus turuti apa yang aku minta, ini untuk kebaikanmu. Aku sudah tidak mau lagi melihat sahabatku hidup seperti orang mati, tanpa perasaan didalam hatinya” kukuh Arza yang tidak biasa-biasanya.
Sahabatnya itu hanya menghembuskan napas pasrah.
@@@
Meta dikejutkan dengan kehadiran Arza yang tiba-tiba, dia yang hendak keluar dari perpustakaan jurusan sampai terlonjak.
“Hei! Bisa nggak sih kamu tidak muncul tiba-tiba?” sungut Meta sambil mengelus dadanya yang berdebar.
Arza hanya membalas dengan cengiran khasnya.
“Mau apa?” tanya Meta seraya beranjak, Arza mengikuti di belakang.
“Ada hal serius yang ingin aku bicarakan” cetus Arza membuat Meta mengerutkan dahinya heran, tidak biasanya Arza bisa berbicara serius.
“Bicara saja, aku pasti mendengarkannya dengan baik” sahut Meta mencoba tidak berpikiran negatif. Misalnya, merasa ge-er akan ditembak seperti waktu pertama bertemu, atau apa begitu.
“Ng...itu...ng...anu...” cetus Arza ragu, dia malah menggaruk kepalanya yang jelas-jelas tidak terasa gatal.
“Apaan sih?” Meta menghentikan langkahnya dan berbalik, hingga Arza nyaris menabraknya karena tidak memperhatikan. Meta mendorong tubuh Arza menjauh.
“Kian ingin bertemu sama kamu” ungkap Arza cepat, semantara Meta hanya menautkan alis tak mengerti.
Arza menghembuskan napas panjang melihat tampang Meta yang menyaratkan ketidak mengertian, “oke, aku akan bicara lebih pelan. Seperti ini, ng.... Kian ingin bertemu kamu”
Kontan Meta membekap mulutnya tak percaya, Kian?? Kian?? Apa tidak salah Arza menyebut nama dia?? Meta bergumam dalam hati.
“Maaf, sebenarnya aku tahu tentang kamu dari dia. Kian adalah sahabat baikku, sejak kecil kami selalu bersama” terang Arza dengan menundukkan kepala, dia merasa bersalah karena selama ini menyembunyikan kenyataan itu dari Meta yang telah terbukti secara nyata menyukai sahabatnya itu.
Meta semakin tak mengerti arah pembicaraan cowok bermata tajam namun meneduhkan dihadapannya itu, Kian?? Mimpi akan mendengar namanya disebut pun tidak…
“Meta, jangan menatapku seperti itu… aku serius dengan ucapanku” cetus Arza sembari menatap Meta yang tak bereaksi apapun kecuali menatapnya tak percaya.
Meta menghembuskan napas panjang kemudian memasang wajah datar kembali, “katakana pada dia, aku harus menyelesaikan pekerjaanku dulu. Kalau mau bertemu di café Kita kapan pun dia ingin” ungkap Meta kemudian berlalu.
Arza menghembuskan napas panjang, hatinya tiba-tiba merasa tidak rela jika Meta bertemu dengan Kian yang notabene adalah sahabatnya sendiri.
“Apa yang terjadi padaku Ya Tuhan…?” Arza menekan dadanya yang terasa nyeri, seperti ada yang mengganjal dan membuatnya sesak napas.
@@@
Terik sang mentari menemani Meta yang tengah menemui dua cowok di café Kita. Arza benar-benar datang bersama Kian, orang yang selama ini di nantikan Meta. Namun Meta malah lebih memperhatikan orang yang duduk di samping Kian, yaitu Arza yang hari itu tampak pucat, senyumnya juga tak setulus biasanya, seperti ada yang sedang Arza tutupi.
Kian hanya mengajak Meta mengobrol ringan, sementara Arza sesekali menanggapi dengan senyuman atau anggukan kepala.
“Ng… aku ke toilet dulu ya…” pamit Arza kemudian berlari menuju arah barat café, dimana toilet berada. Tatapan Meta mengikuti kemana Arza melangkah hingga menghilang di balik pintu, hatinya mengatakan ada yang tidak beres dengan Arza yang biasanya bersikap ceria itu.
“Ki, aku juga ke toilet dulu… sebentar saja” Meta meletakkan handphone-nya dimeja lalu pergi ke toilet, namun niat sebenarnya hanyalah ingin memastikan feelingnya sejak bertemu Arza tadi.
Meta mengetuk pintu toilet yang satu-satunya tertutup, “Za… kamu didalam? Arza…” panggil Meta sambil menyandar di kusen pintu. Tak ada jawaban.
“Arza! Jangan macam-macam… jawab aku, aku tidak mau ada orang yang tahu kalau aku masuk toilet cowok… Arza!” Meta memperkeras ketukannya, namun masih sama, tak ada jawaban. Membuat Meta seketika gelisah, dia takut terjadi apa-apa dengan cowok  itu.
“Za… jawab dong, jangan diam aja” Meta mengetuk pintunya lagi, tak selang waktu lama Arza muncul sambil nyengir khasnya.
“Ada apa sih?” tanya Arza sembari mengusap tangannya dengan tissue, wajahnya semakin tampak pucat.
“Are you okay?” Meta menempelkan punggung tangannya di dahi Arza untuk memastikan kalau cowok itu demam atau tidak.
Arza terkekeh, “aku baik-baik saja” ucapnya sembari tersenyum. Meta menatap lurus ke manik mata Arza hingga membuat cowok itu salah tingkah.
“Kamu apa-apaan sih?” tanya Arza gugup.
Meta meraih tangan Arza dan menggenggamnya, “aku mau minta maaf” cetus Meta tanpa mengalihkan tatapannya.
“Minta maaf buat apa?” tanya Arza tak mengerti dengan alur pembicaraan gadis di hadapannya itu.
“Karena sepertinya rasa di hatiku sudah luntur kepada sahabatmu, sungguh! Selama ini aku memang masih mengharapkannya, namun entah kenapa saat aku melihatnya kembali rasa itu ternyata sudah mati” ungkap Meta memberikan penjelasan yang sejujur-jujurnya.
Sontak Arza membelalakkan matanya tak percaya, “kenapa bisa begitu?” tanyanya tergagap.
“Aku juga tidak tahu, mungkin aku selama ini hanya terbawa emosi masa puber saja. Sekarang aku sudah dewasa, aku sudah bisa membedakan mana yang benar-benar perasaan cinta atau hanya obsesi” tutur Meta seraya memalingkan wajah, dia tidak sanggup berlama-lama lagi beradu pandang dengan Arza.
Arza menekan dadanya yang tiba-tiba sesak, “apa itu benar? Apa kamu tidak bisa beri Kian kesempatan kedua?” tanyanya susah payah, sementara Meta hanya memberi jawaban dengan gelengan kepala.
“Aku benar-benar minta maaf, Za, permisi” Meta beranjak tanpa menatap Arza lagi yang hanya bisa menatap getir kepergian gadis yang diam-diam mulai di sukainya itu.
@@@
Meta berlari menyusuri koridor rumah sakit yang masi lengang, satu jam yang lalu dia mendapat telepon dari Kian kalau Arza masuk IGD. Ketika sampai di depan ruang rawat Arza, hanya Kian yang tengah terlelap di kursi tunggu yang ditemuinya.
Meta duduk disamping Kian untuk melepas lelah setelah berlarian di pagi-pagi buta, dia menatap wajah Kian yang tampak letih ada rasa bersalah menyelinap di lubuk hatinya. Namun, mau bagaimana lagi? Rasa di hatinya telah hambar.
“Meta? Kamu sudah datang?” ucap Kian terkejut ketika melihat Meta telah duduk di sampingnya.
“Ya” jawab Meta singkat sembari tersenyum, “apa yang terjadi sebenarnya?”
Kian menghembuskan napas panjang, “Arza mengidap asma akut sejak kecil, kemarin tiba-tiba asmanya itu kambuh. Aku juga tidak tahu kenapa bisa sampai seperti ini?”
Meta mendekap mulutnya tak percaya, cowok se aktif Arza ternyata mengidap penyakit asma akut. Pantas saja kemarin Meta melihat seperti ada yang tidak beres dengan sikap Arza.
“Dia mencarimu” ucap Kian lirih tanpa berani menatap wajah Meta, “dia mencarimu dalam tidurnya”
Deg! Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menggelayuti hati Meta mendengar ucapan Kian yang terkesan seperti suatu dakwaan.
“Dia menyukaimu” lanjut Kian cukup membuat Meta Shock, Meta menggigit bibir bawahnya gelisah menunggu ucapan Kian selanjutnya.
Kian tersenyum hambar, “tapi ya sudahlah tidak apa-apa, itu hak dia untuk menyukai siapapun termasuk kamu. Sekarang kita temui Arza saja, mungkin dia sudah sadar” ajak Kian tak terduga sama sekali.
Meta mengangguk lalu mengikuti Kian masuk ke ruang rawat Arza.
@@@
Angin tak begitu kencangnya untuk mampu menerbangkan dedaunan yang tengah berguguran.
Arza bersimpuh di depan Kian dengan napas tersengal-sengal, “sungguh, Ki, aku tak bermaksud apapun… tolong maafkan aku…”
“Sudah beratus kali aku bilang, aku tidak apa-apa. Kamu mempunyai hak untuk menyukai siapapun termasuk Meta, lagipula aku tak ada hubungan khusus dengan dia, kamu tahu itu’kan?” ungkap Kian mencoba terlihat biasa saja walau sebenarnya hatinya telah hancur berkeping-keping, Kian tersenyum bijak sembari menepuk bahu Arza, “pikirkan dulu kesehatanmu, aku tidak mau melihatmu sakit lagi”
Kontan Arza bangkit dan memeluk sahabatnya itu, ‘jangan pernah benci aku, Ki, kamu sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Aku berjanji tidak akan merebut Meta darimu, dia milikmu”
“Tidak” ucap Kian seraya melepas pelukan Arza, “Meta bukan milikku, dia bahkan sudah tidak mempunyai rasa apapun kepadaku. Itu peluang bagus untukmu, bukan?”
Arza tersentak, “aku tidak sejahat itu, merebut orang yang sangat di sayangi sahabatnya sendiri” ungkap Arza sungguh-sungguh.
“Aku tahu, tapi aku akan lebih bahagia jika kedua orang yang aku sayangi juga bahagia. Aku pikir Meta juga menyukaimu” Kian kembali menepuk bahu Arza kemudian beranjak. Kian sudah tidak sanggup lagi membendung perasaan sedihnya, dia takut kalau Arza sampai tahu betapa hancur perasaannya saat ini, dia memang berhasil menyembunyikan perasaannya kepada Meta namun dia tidak yakin jika didepan Arza yang notabene adalah sahabat baiknya.
Apa ini yang kamu rasakan dulu, Met? Saat aku mengacuhkanmu dengan sadisnya, padahal kamu sudah memberanikan diri mengirim sinyal-sinyal yang menyatakan bahwa kamu menyukaiku. Rasanya benar-benar sakit, Met, apalagi orang yang menjadi rivalku kini adalah sahabatku sendiri.
Kian terduduk lemas di kursi tunggu dengan air mata yang tanpa pertimbangannya meluncur begitu saja.
Tak jauh dari sana Meta menatap Kian dengan tatapan bersalah, hatinya ikut sakit melihat air mata Kian yang semakin lama semakin deras.
Aku minta maaf, Kian, mungkin kamu pikir aku sudah tidak memikirkanmu lagi tapi itu salah. Aku malah semakin memikirkanmu di atas apapun, kamu tetap mendominasi hatiku walau aku mulai menyukai Arza. Kamu tetap orang pertama dan terakhir yang dapat membuatku tak pernah ingin mempunyai orang lain lagi.
@@@
Kian menatap hamparan bunga yang tumbuh di taman rumah sakit dari kursi semen di tepi taman, “sangat indah” gumamnya sembari tersenyum pahit, “tapi sayang aku tidak dapat memetiknya”
“Kamu dapat memetiknya suatu saat nanti” sahut sebuah suara membuyarkan lamunan Kian. Kian mendongak dan agak membulatkan mata ketika melihat Meta telah berdiri disampingnya sambil bersedekap.
“Bagaimana mungkin? Kamu tidak lihat ada tulisan ‘dilarang memetik bunga’?” tanya Kian dengan nada yang terkesan sinis.
Meta duduk di samping Kian sembari tertawa kecil, “tak selamanya tanda itu berarti seperti itu, jika kamu memang sangat menginginkannya kamu bisa bicara baik-baik kepada pemiliknya”
Sontak Kian menatap wajah Meta yang tampak santai, sesekali gadis itu mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama musik dari Ipodnya, “apa maksudmu?” tanya Kian meminta penjelasan, dia tahu ucapan Meta bukan tak memiliki maksud di belakangnya.
Meta tersenyum seraya menatap Kian dalam, “tidak ada, memang kenapa? Kamu mengharapkan maksud lain dari ucapanku?”
Kian membalas tatapan Meta, “aku melihat di matamu kalau ada arti lain dari ucapanmu itu”
Meta menghembuskan napas lega lalu menengadahkan wajahnya sambil memejamkan matanya, “syukurlah kalau kamu tahu, aku tidak perlu menjatuhkan harga diriku dengan mengatakannya langsung”
Kian mendengus kesal, “lalu apa yang kamu mau sekarang? Jangan buat aku seperti orang bodoh”
Meta melirik Kian sekilas, “aku mau kamu tidak salah paham denganku dan juga Arza”
“Salah paham?” Kian terkekeh, “buat apa aku salah paham dengan anak kecil macam kamu?”
Kontan Meta mengerucutkan bibirnya beberapa centi, sementara Kian tertawa lepas sembari mengacak rambut Meta sangking gemasnya.
Dari jendela ruang rawatnya, Arza menatap sahabatnya bisa kembali tertawa selepas itu dengan perasaan lega. Melihat sahabatnya bahagia lebih membahagiakan daripada mendapat gadis yang di sukainya.
Aku tahu, Meta, jauh di lubuk hatimu masih ada Kian. Tidak mungkin secepat itu kamu bisa melupakan orang yang sangat kamu sayangi bahkan kamu cintai. Aku hanya bisa berdo’a supaya kalian selalu bahagia, karena dengan begitu aku juga bahagia…

Nb: Tolong harap maklum jika cerita khayalku ini agak aneh,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar