Sedikit Coretan Tentang “Hanif”
Hanif
(Dzikir dan Pikir). Saya tidak akan meresensi atau yang lainnya, saya hanya
ingin mengungkapkan uneg-uneg yang
berloncatan di kepala setelah membaca novel tersebut. Ketika membaca Hanif,
yang merupakan buah karya Kak Reza Nufa tersebut membuat saya menganggukkan
kepala, tersenyum setuju, tertawa geli, mengernyitkan dahi, dan atau menangis
haru.
Hanif
memang bukan novel baru, cetakan pertamanya saja tahun 2012. Tiga tahun sudah
Hanif lahir di dunia ini dengan membawa idealismenya. Mungkin kalau Hanif
benar-benar hidup di dunia ini, sekarang sudah berada di Belanda.
Menurut
saya sebagai pembaca yang biasanya lebih tertarik dengan novel romance, teenlit, dan fanfiction,
Hanif merupakan novel yang cukup berat untuk otak saya. Bahasa yang dipakai
beberapa menggunakan kiasan yang harus saya baca dua kali. Selain itu pada bab-bab
awal, Kak Reza seperti membuat sebuah catatan perjalanan dalam kemasan prosa
yang membuat saya kurang greget.
Namun,
kisah di Pesantren yang diangkat Kak Reza melalui flashback membuat saya tertarik, dan betah berlama-lama membaca
tulisannya. Yang awalnya saya kira akan membosankan. Kehidupan seorang
mahasiswa dengan basic pesantren baru
kali ini saya temui. Kak Reza menceritakan cukup detail apa saja yang dialami
di pesantren, yang mana sinkron dengan logika berpikir saya. Beberapa kali saya
membaca novel ringan yang berlatar pesantren, tapi saya tidak mendapatkan feel bahwa novel tersebut sedang
bercerita tentang seorang santri. Kak Reza berhasil membangun feel yang saya ingin dapatkan saat
membaca tokoh dengan latar belakang pesantren. Setelah bagian flashback itulah yang membuat saya
begitu tertarik hingga ingin segera menghabiskan novel Hanif dalam satu malam.
Kehidupan
pesantren yang tidak banyak orang tahu, menurut saya menarik untuk diceritakan.
Tidak masalah dari sudut pandang mana yang akan diambil. Sementara Kak Reza
mengambil dari sudut pandang seorang mahasiswa yang pernah nyantri. Orang awam hanya tahu bahwa di pesantren adalah tempat
menimba ilmu agama tanpa tahu apa saja yang dilakukan para santri diluar
kegiatan mengaji. Dan, Kak Reza menceritakan bagian tersebut dengan apik dan
dramatis. Saya menyukai adegan makan bersama di nampan, bermain sepak bola di
malam purnama, membicarakan rumor mistis yang tersebar di antara para santri,
dan kebersamaan lain yang menurut saya sangat indigenous.
Selain
tertarik dengan sudut pandang cerita yang ditampilkan Kak Reza, saya juga tertarik
dengan sosok Hanif dengan pemikirannya yang idealis, pemberani, dan
kontroversial. Sosok yang cocok menjadi teman diskusi hingga pagi dengan
berbagai tema pembicaraan. Pemikiran-pemikirannya yang terkadang nyeleneh menjadi nilai plus seorang
Hanif. Penggambaran sosok alumni pesantren yang radikal namun peduli terhadap
perkembangan akhlak bangsa.
Meski
demikian, Hanif memiliki teman baik yang menurut saya menjadi rem untuk setiap
pemikiran skeptisnya. Dialah Idam. Munculnya sosok Idam membuat saya
menghembuskan napas karena ada seseorang yang mampu mengimbangi Hanif.
Membenarkan opini Hanif jika memang masih dalam line yang Idam pahami dan mendebat ketika pemikiran Hanif mulai
melenceng dari pemahamannya. Tidak ada orang lain yang lebih memahami Nanif
ketimbang Idam. Sosok sahabat sejati yang dibutuhkan seorang seperti Hanif.
Jika
di dunia ini Hanif dan Idam hidup dalam kenyataan, saya akan senang sekali
menjadi teman ngobrol mereka. Ilmu pengetahuan dipahami dari angel—sudut pandang yang berbeda. Kritis
dan inovatif. Tidak akan ada kata bosan berbincang lama-lama dengan mereka
berdua.
Fenomena
yang sangat familiar bagi mahasiswa dan masyarakat Indonesia pada umumnya meliputi;
Lembaga Dakwah Kampus (LDK), sweeping
ketika bulan ramadhan oleh ORMAS tertentu, stigma masyarakat yang masih tabu
mengenai pluralitas agama, dan masalah terorisme yang melibatkan mahasiswa
bahkan santri. Disikapi Hanif dan Idam dengan pemikiran idealis khas seorang
mahasiswa, namun yang berbeda adalah background
yang mereka memilki yaitu mengenyam pendidikan pesantren. Sehingga menjadi
sesuatu yang menarik hati saya. Meski terkadang agak keluar dari mainstream.
Salah
satunya adalah pemikiran Hanif yang terlalu extreme
memandang kehidupan dan lingkungannya, seolah hanya dia yang memanggul beban
berat masalah agama yang terjadi di Nusantara. Apalagi ide mengenai penghapusan
agama, walau Hanif mengatakan itu opsi paling terakhir untuk menyelamatkan
akhlak manusia. Jika saya menjadi teman Hanif, mungkin saya adalah salah satu
orang yang sering berdebat dengannya (Hehehe…). Namun, kehadiran Idam yang
tetap menggandeng nilai-nilai konservatif membuat saya kembali menghela napas
lega. Idam lagi-lagi membuat saya menurunkan ketegangan di kepala saya.
Kembali
pada cerita, karena kalau membicarakan Hanif dan Idam akan tiada
habis-habisnya. Saya sangat mengidolakan pemikiran mereka berdua, hehehe.
Menurut
saya, tempo Kak Reza menurun disaat bercerita Hanif kembali pulang ke rumah.
Yaitu bagian dia bertemu dengan Ibu dan mengira Bapak telah meninggal akibat
ucapan Ibu yang belum selesai. Adegan tersebut seolah menurunkan tempo saya ketika
membaca. Mungkin niatnya untuk memberi kejutan, tapi menurut saya… menurut saya
lho… tidak perlu. Adegan-adegan sebelumnya sudah sangat bagus untuk diturunkan
temponya dengan adegan tersebut.
But,
overall novel Kak Reza Nufa tersebut
keren! Dan yang tidak kalah penting novel tersebut menginspirasi saya. Tidak
menyesal saya telah ‘dipaksa’ membeli novel tersebut waktu itu. So, bagi teman-teman sekalian yang
mungkin membaca tulisan saya (yang apalah-apalah ini), jangan sampai tidak
membaca salah satu novel karya Kak Reza Nufa tersebut. Bukan promosi atau apa,
tapi pemikiran-pemikiran Kak Reza yang disampaikan lewat sosok Hanif cukup
membuka pikiran saya. Mungkin bisa juga pikiran teman-teman sekalian.
Bagian
yang paling saya sukai :
Ucapan
Idam tentang pertanyaan dosen dari temannya: “Tuhan ‘kan Maha Bisa. Nah, bisa
nggak Tuhan bikin batu yang karena batu itu Dia justru gak bisa lewat?” Hlm. 17
Karena
ketika membacanya, saya merasa konyol ada orang bertanya seperti itu. Tapi, tulisan
setelahnya membuat saya sadar. Tidak semua orang menerima begitu saja kepercayaan
yang diwariskan orang tuanya.
“Mungkin
aja Tuhan mampu bikin batu itu, dan Tuhan juga bisa lewat tanpa kesulitan. Ketidakmampuan
itu justru ada di kepala kita. Kita gak mampu memahami kedua tindakan itu tanpa
bertabrakan.” Hlm. 19
NB
(Edisi Curcol):
Saya
mau cerita sedikit mengenai asal muasal membeli novel Hanif. Awalnya saya tidak
mengetahui tentang novel tersebut. Tapi, karena perbincangan ngalor-ngidul saya dan seorang teman
dengan penulis novel Hanif yang tidak lain tidak bukan adalah Kak Reza Nufa,
mengenai beberapa hal (perbincangan tersebut terjadi ketika #KampusFiksi 14).
Disarankanlah kami membeli novel tersebut, karena menurut Kak Reza ada beberapa
bahasan yang setipe. Sehingga saya membeli novel tersebut langsung dari
penerbit yaitu DIVA Press.
Ketika
saya membaca Hanif, seolah saya sedang mengobrol dengan Kak Reza Nufa, hanya
saja dengan kemasan lebih idealis. Hehehe… Dan yang terakhir, Hanif adalah
novel pertama yang saya baca yang memiliki daftar bacaan begitu banyak. Keren. Swear! Sekali lagi saya katakan (bukan
bermaksud promosi apalagi provokasi) bahwa sebagai mahasiswa dengan idealisme
yang sedikit berbeda dari orang lain atau tanpa idealisme sekalipun, perlu
membaca novel Hanif. Manfaatnya apa? Lihat saja setelah membaca.
Well,
Thanks a lot for Kak Reza Nufa yang
telah menulis dan menyarankan saya membaca novel Hanif J.
Semarang,
14 November 2015
aku lho gak punya novel itu, tp gegara bnyk yg bahas jd pengen baca juga. mungkin krn kamu santri juga, maka kamu jd bner2 masuk ke cerita. btw, hanif itu cowo?
BalasHapushahaha iya cowok, karena menurutku cewek nggak akan seidealis Hanif :P thaks, Nyu
BalasHapusaku juga ketularan virus pengen beli sebenernya mbak dat. apalagi diva ngasih diskonnya gak tanggung-tanggung :D. tapi apalah daya, aku memikirkan bujet, saat itu hidupku di jogja masih akan berlanjut beberapa hari kedepan hehe.
BalasHapussekarang aku bener-bener....penasaran