Que Sera Sera*
By. Miss Dhe
“Aku tidak peduli dengan stigma masyarakat! Bahkan
omongan masyarakat kita, Mai! Aku tidak mau terkukung dengan pemikiran seperti
itu terus-menerus!” Alyasa—Al mengusap wajahnya gusar, tampak sekali kalau dia
menentang keras ucapan Maia. Gadis di hadapannya yang hanya berdiri tanpa
menatap lawan bicaranya.
Hatinya akan goyah jika dia menatap Al, mungkin dia akan
melakukan apapun seperti yang Al inginkan atas nama cinta. Walau Maia sendiri
tidak yakin dia mencintai Al, selama ini dia hanya mengenal Al sebagai putra
keempat seorang Kiai kondang di derahnya. Almarhum Kiai Rasyid.
“Lagipula, Gus,
aku tidak yakin Umi akan setuju.
Seperti kataku tadi, aku tidak berasal dari keluarga Kiai. Seorang Gus akan
lebih baik bersanding dengan putra Kiai juga untuk menjaga nashab,” cetus Maia selembut mungkin, supaya Al mengerti dan tidak
salah paham. Siapa gadis bodoh yang menolak pinangan seorang Gus? Dialah orangnya. Atas nama menjaga nashab keluarga Al dan stigma masyarakat
yang menganggap keluarga Kiai harus berbesanan dengan keluarga Kiai pula, Maia
menolak ajakan menikah Al. Menyembunyikan perasaan egoisnya yang tidak mau
hidup dalam sebuah aturan.
Setiap keluarga yang hidup dalam lingkup pesantren
memiliki tata krama yang begitu kental. Maia adalah gadis biasa yang berpikir
jauh ke depan. Cita-citanya sebagai penulis sekaligus politikus tidak cocok
dengan kehidupan pesantren Al. Dia tidak ingin menodai kesucian itu dengan
ambisinya.
“Please, Mai…”
ucap Al dengan nada lelah, “Ini tahun 2015,
jangan membawa-bawa nashab seolah
kamu bukan gadis baik-baik. Aku laki-laki modern yang tidak pernah peduli
dengan hal itu, karena jodoh tidak berada di tangan kita.”
“Terima calon yang diajukan Bu Asnah, dia lebih pantas,”
Al seketika membelalakkan matanya tidak percaya, menerima usulan gadis dari kakak perempuannya
yang kini sudah bersuami dan ikut suaminya memangku pondok pesantren di kota
lain? Sepertinya bukan ide yang bagus.
Al menggeleng mantap lalu berseru dengan lantang, “Aku memintamu bukan tanpa alasan dan
pertimbangan, sejak beberapa bulan lalu aku sudah sholat istikharah dan hanya
kamu yang muncul!”
“Kamu tidak netral! Aku muncul karena kamu berpihak!”
timpal Maia tajam tanpa menaikkan nadanya, dia tetap harus menjaga tata
kramanya di depan Al walaupun mereka berteman sejak masuk kuliah. Bahkan Al
sering mengajaknya berangkat atau pulang kuliah dengan mobilnya, dan sesekali hangout bersama ketika tidak ada kuliah.
“Kamu meragukanku?” suara Al kembali melemah, bingung
harus mengatakan apalagi untuk meluluhkan gadis keras kepala yang sudah
membuatnya menolak semua usulan calon dari kakak-kakaknya, “Aku juga sudah meminta Mas Aidil untuk
membantuku, dia berkata jika kamu satu-satunya gadis yang muncul dalam
istikharahnya.”
Maia meremas ujung bajunya dengan tangan berkeringat.
Bagaimana bisa? Dia bukan siapa-siapa, bagaimana dengan kehidupan Al nantinya?
Dia akan banyak digunjingkan orang karena menikahi gadis biasa.
“Walaupun temanku mayoritas perempuan. Walaupun aku
selalu membangkang ucapan Umi.
Walaupun aku terkenal paling nakal dari keempat saudaraku, aku masih laki-laki
baik-baik. Aku akan berusaha menjadi imam yang baik,” Maia menggelengkan
kepalanya lemah. Gadis itu yakin seratus persen jika Al bisa menjadi imam yang
baik dengan jaminan syurga, tapi bagaimana dengan Umi? Ayah dan Ibunya? Juga masyarakat tempatnya tinggal?
“Apa kamu tidak ingin mengabdi pada suami?” Tanya Al
lirih yang meremas hati Maia.
“Semua wanita sholekhah ingin sekali mengabdi pada suami,
aku pun ingin menjadi wanita sholekhah,” sahut Maia tidak kalah lirih, tapi bukan seperti ini yang kuinginkan,
sambungnya dalam hati.
Al terkekeh sedih mengamati mimik ragu di wajah Maia, “Kamu takut? Kamu tidak
percaya dengan isyarah yang diterima Mas Aidil? Dia Kiai sekarang, menggantikan
Abahku.”
Dada Maia berdesir aneh bersamaan dengan keraguan yang
menggerayanginya. Menjadi istri laki-laki baik-baik adalah doanya setiap saat,
tapi dia selalu berkaca dan sadar akan siapa dirinya. Alyasa Rasyid. Laki-laki
supel yang selalu care dengan
siapapun itu tidak masuk dalam laki-laki impiannya. Terlalu tinggi, begitu
pikirnya. Walau pernah terbesit dipikiran liarnya menjadi istri seorang Al,
Maia tidak ingin terlalu memikirkannya karena keduanya berada dalam atmosfer
yang berbeda.
“Aku akan selalu bertanya padamu sampai kamu menjawab
‘ya’ dan aku akan segera mendatangi kedua orang tuamu supaya tidak ada
laki-laki lain yang berani melamarmu,” tegas Al tanpa ingin digugat kemudian
beranjak, meninggalkan Maia yang kini terduduk di kursi semen tidak jauh dari tempatnya
berdiri tadi.
Apa yang harus dilakukannya sekarang? Mana mungkin kedua
orang tuanya bisa menolak keluarga Kiai yang sejak lama mereka ta’dzimi di samping mereka juga was-was
dengan ucapan tetangga-tetangganya kelak. Maia menghela napas pasrah sembari
berdoa dalam hati mengharap yang terbaik dari yang Maha Baik, seperti sebuah
pepatah Que Sera Sera, whatever will be will be. Apapun yang
terjadi-terjadilah. Sebagai manusia dia hanya berusaha sebaik mungkin dengan
iringan doa tiada putus-putusnya.
The End
*Pernah dimuat di Majalah Aswaja (Majalah Pondok Pesantren Durrotu Aswaja Gunungpati Semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar