Dear
Diary Library…
By: Miss Dhe
Hening, tenang, dan kondusif, suasana paling kusukai ketika berada di perpustakaan. Tidak ada kegaduhan yang dapat mengganggu konsentrasiku membaca buku, bukan buku berat seperti yang dipikiran orang-orang tapi lebih kepada novel, novel remaja yang penuh dengan cerita picisan dan cengeng. Bukan seperti pandangan orang awam tentang seseorang yang suka dengan perpustakaan adalah kutu buku. Hmm, tapi istilah itu tidak sesuai jika disandingkan denganku. Bagaimanapun aku lebih suka membaca novel daripada buku-buku pelajaran, bahkan saat hampir ujian. Jangan tiru kesukaanku karena ini sudah ada sejak aku lulus sekolah dasar, dan aku selalu lebih nyaman dengan kebiasaanku itu.
Aku
mengalami banyak hal tak terduga ketika di perpustakaan, hal itu juga yang
membuat aku lebih suka perpustakaan ketimbang tempat-tempat hangout yang
lain. Selain terkesan berbobot, perpustakaan terdapat banyak novel bagus yang
aku inginkan.
!!!
Sore
ini seprti biasa aku duduk di bagian paling kusukai di perpustakaan, di sisi
utara bagian rak-rak novel yang menghadap tepat kearah jendela. Pemandangan yang menampakkan pepohonan menyejukkan mata
serta dapat melihat lalu-lalang orang di bawah sana.
“Ryn,
duluan ya,” ucap Elza, teman satu jurusanku di komunikasi, dengan berbisik.
Taulah aturan di perpustakaan seperti apa.
“Hmm,
ya. Aku masih nanti,” sahutku seraya menatap Elza sekilas sambil sedikit
menyunggingkan senyum. Elza mengangguk kemudian beranjak. Aku menghela napas
panjang, melihat sekelilingku yang tenang sementara Elza semakin menjauh. Ada
sesuatu yang kutunggu setiap aku datang ke perpustakaan, mungkin tidak masuk
akal jika dipandang orang lain. Namun, siapa yang tahu apa yang akan terjadi
nanti.
!!!
Matahari
semakin condong ke barat menyisakan mega jingga yang indah, aku melakukan
sedikit gerakan peregangan setelah duduk hampir tiga jam di perpustakaan ini.
“Saatnya
pulang,” ucapku seraya mengemasi barang-barangku lalu mengembalikan buku yang
tadi kubaca ke raknya. Ternyata penggunjung yang bertahan hingga malam
menjelang ini cukup banyak, buktinya hanya tersisa beberapa kursi kosong.
“Meryn?”
suara dengan nada ragu itu membuatku menoleh mencari sumber suara, agak heran
memang. Tapi laki-laki yang kini berdiri tepat di sampingku itu malah tersenyum
lebar ketika melihat wajahku.
“Kamu
tidak ingat aku? Wisnu, teman SMP Alen. Dulu waktu SMA kita sering chatting
lewat facebook, masa’ kamu lupa?” cerocos laki-laki itu membuat otakku
mau tak mau harus memutar memoriku. Dan benar saja laki-laki itu Wisnu, kakak
kelasku ketika SMP. Hmm, kenapa aku menjadi lupa dengannya? Seharusnya aku
tidak pernah melupakannya. Apa ini pertanda aku mulai melupakan ‘dia’?.
“Ya,
aku ingat. Mau cari buku? Sepertinya kamu bukan mahasiswa di sini,” tanyaku
lebih mengakrabkan diri.
“Mmm,
ya. Aku sedang menggarap skripsi jadi butuh banyak referensi buku,” jawabnya
santai, menunjukkan sisi coolnya yang dulu sempat membuat sahabatku,
Unie, klepek-klepek.
“Oh,
begitu? Semoga lancar saja skripsimu. Kamu sendirian?” aku menatap sekeliling
kami yang tidak ada siapapun, aku berharap dia tidak sendirian. Tapi… aku tidak
tahu ah!
Wisnu
tersenyum manis, “ya, aku sendirian. Lalu dengan siapa lagi? Alen? Tidak mungkinlah,”
cetusnya dengan sorot mata yang tidak sama dengan mimik wajahnya. Matanya
tampak lebih muram.
Karena
tidak mau ber-negative thinking aku basa-basi bertanya, “Alen sibuk
dengan skripsinya juga?”
Wisnu
menatapku bingung, sementara aku membalasnya dengan tatapan lebih bingung.
Kenapa dia menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan ucapanku? Aku rasa
tidak.
“Kamu
tidak tahu?” tanyanya menuntut.
“Tahu
apa?” balasku dengan bertanya juga plus tampang yang kupasang se-innocent mungkin, karena aku memang
tidak tahu apa yang terjadi antara Wisnu dengan Alen setelah pertemuan terakhir
kami diacara perpisahan SMP kami.
Wisnu
menarik tanganku dan mengajakku duduk di salah satu kursi, “kamu benar tidak
tahu?” Ulang Wisnu sekali lagi.
“Tahu
apa, Wis? Katakan jika itu memang penting buatku,” sahutku mulai penasaran
sepertinya ada hal serius menimpa dua sejoli yang sudah bersahabat sejak masa
putih biru itu dan aku tidak mengetahuinya. Well, aku memang tidak
pernah mengerti bagaimana keadaan mereka setelah lulus SMP, terlebih lulus SMA.
Bukannya
menjawab, Wisnu malah tampak gelisah. Dia meremas tangannya yang tampak
berkeringat. Membuat ketakutan seketika menyergapku, pikiran-pikiran konyol
terlintas di kepalaku mengenai hubungan keduanya.
“Apa
ada masalah serius? Persahabatan kalian tidak putus ’kan?” tebakku ngeri,
terlalu sayang jika hubungan keduanya pupus. Sejak SMP menjalin persahabatan,
dan harus berakhir begitu saja.
Wisnu
menggeleng, wajahnya menyaratkan ada hal sangat serius dan lebih urgent dari putusnya persahabatan mereka
seperti hipotesaku tadi.
“Ng…
ternyata memang kamu belum tahu, Ryn. Tapi, aku mohon jangan sedih setelah aku
mengatakannya ya,” ucap Wisnu sungguh-sungguh, mau tak mau akhirnya aku
mengangguk juga walau tidak mengerti alur pembicaraan laki-laki itu.
“Alen…
dia… mengalami kecelakaan hampir satu bulan yang lalu,” ungkap Wisnu ragu, aku
seketika mendekap mulutku yang nyaris menganga karena shock, Wisnu
menghela napas panjang untuk menetralisir hatinya, “dan, sampai sekarang dia
belum sadarkan diri.” Lanjutnya, membuat tubuhku seketika lemas.
“Apa??”
sahutku serak, air mataku mengalir begitu saja dari pelupuk mata. Alen memang
bukan siapa-siapa, tapi bagaimanapun juga dia pernah mengisi penuh hatiku,
bahkan hingga detik ini rasa itu masih ada.
“Kamu
mau ‘kan menemuinya di rumah sakit?” Tanya Wisnu penuh harap, yang kubalas
dengan anggukan kepala mantap. Tanpa Wisnu mintapun aku akan menemui Alen
bagaimanapun caranya.
!!!
Bau
obat menyeruak dari setiap ruangan yang kami lewati, aku berjalan beriringan
dengan Wisnu yang tidak mengucapkan sepatah katapun sejak menginjakkan kakinya
di rumah sakit ini. Aku menepuk bahunya pelan lalu berkata.
“Jangan
merasa bersalah seperti ini, bukan salahmu jika keadaan Alen hingga sekarang
belum membaik.”
Wisnu
tersenyum tipis lalu menghela napasnya, “aku tahu. Hanya saja, kalau waktu itu
aku tidak egois dan tidak meninggalkannya sendirian….”
“Stt…
tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi bahkan sedetik kemudian, walaupun aku
tidak tahu apa yang terjadi waktu itu.” Potongku sebelum Wisnu menyelesaikan
ucapannya. Tidak ada gunanya saat ini dia menyalahkan diri sendiri, toh dengan
menyalahkan diri sendiri Alen juga tidak kunjung sadar. Wisnu tersenyum lalu
mengacak rambutku gemas.
“Dasar!
Kalian sama saja.” Ucap Wisnu yang membuatku bingung dengan kata ‘kalian’.
Namun, aku tidak mau ambil pusing, yang terpenting saat ini adalah menjenguk
Alen dan memastikan keadaannya.
!!!
Wisnu
menyodorkan sebuah buku berukuran sedang yang tampak seperti buku diary itu, sesaat sebelum aku masuk ke
ruang rawat Alen.
“Sebaiknya
kamu baca ini sebelum memutuskan masuk,” ucapnya dengan wajah yang sulit
diartikan.
“Apa
ini?” Tanyaku walau sudah bisa menebak buku apakah itu, ada sedikit getaran di
dadaku. Takut jika pikiran-pikiran negatif yang berseliweran di kepalaku menjadi kenyataan.
Laki-laki
itu menghela napasnya, seolah ada yang mengganjal di dadanya, “itu… buku diary Alen, sebaiknya kamu baca dulu
sebelum kamu benar-benar menemui Alen. Aku takut kamu akan menyesal nantinya.”
Deg!
Rasa penasaran mengalahkan rasa takutku, maka cepat-cepat aku baca buku yang
kini berada di tanganku itu.
!!!
Hatiku
memberontak, menolak kakiku untuk melangkah menemui Alen yang terbaring di
dalam ruangan yang tepat berada di hadapanku. Buku diary Alen yang membuat kaki ini seakan lemas tak bertulang. Air
mataku kembali tak terbendung lagi.
“Aku
tahu ini pilihan sulit untukmu,” suara asing itu membuyarkan lamunanku. Seorang
laki-laki yang tatapan matanya mirip milik Alen mendekatiku dan duduk di
sampingku, “aku Adry, kakak Alen.”
Kuseka
air mataku dan mencoba menyunggingkan senyum kepada kakak Alen itu, namun
gagal. Seakan otot tersenyumku tidak berfungsi.
“Alen
banyak cerita tentang kamu. Manis, ceria, ramah, dan bla bla bla. Dia selalu
memujimu di hadapanku,” aku terbelalak mendengar cerita Kak Adry itu, walau aku
sudah tahu selama ini Alen juga menyukaiku lewat buku diary yang baru saja selesai kubaca, sebesar apakah rasa sukanya
terhadapku kalau begitu?
“Dia
benar-benar pintar menyimpan perasaannya darimu sepertinya,” imbuh Kak Adry
seraya terkekeh. Namun, malah lebih mirip dengan isakan tertahan.
“Temui
dia dan katakan kalau kamu juga menyimpan perasaan yang sama,” ujar Kak Adry
yang dengan serta merta aku tolak.
Aku
menghembuskan napas kasar sambil menatap Kak Adry tak percaya, “jika aku
menemuinya, apakah Alen akan membuka matanya?” Tanyaku menuntut, “apa dia akan
tersenyum padaku lagi?”
“Mohon
mengertilah, aku hanya tidak ingin melihat adikku satu-satunya berlarut-larut
dalam penderitaan,” desah Kak Adry tanpa melihatku. Namun, aku sempat melihat ada
bulir-bulir bening yang siap meluncur dari pelupuk matanya.
“Aku
tidak sanggup jika harus melihat dia tidak pernah membuka mata lagi, Kak,
sungguh!” Ungkapku seraya menutup wajahku dengan kedua tangan, aku tidak mau
menjadi alasan mengapa Alen pergi untuk selamanya.
Tanpa
kuduga, Kak Adry berbalik dan memegang kedua belah pundakku, “aku mohon, Meryn.
Temui Alen, selama ini dia hanya menunggumu… biarkan dia bahagia dengan caranya
sendiri,” ucap Kak Adry mencoba meyakinkanku.
Aku
menundukkan kepalaku dalam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Berada dalam
situasi seperti itu membuat otakku seketika blank,
tidak bisa memikirkan solusi yang baik. Dan, pada saat yang sama sisi ego-ku muncul sebagai dominan.
Kak
Adry menghela napas panjang, mungkin tahu bagaimana sulitnya posisiku saat ini.
Aku baru saja menemukan keberadaan Alen setelah bertahun-tahun tidak tahu kabar
beritanya, bahkan dari Wisnu sekalipun. Karena sahabat Alen itu menyembunyikan
kedekatannya dengan Alen atas permintaan Alen sendiri.
!!!
Bulan
perak menemaniku yang hanya mampu duduk terdiam di samping Alen yang terbaring
lemah di ranjangnya, aku tidak berani mengeluarkan sepatah katapun. Seakan
lidah ini kelu untuk sekadar mengatakan ‘hai’.
Setelah
beberapa lama, ego-ku mulai
terkalahkan oleh hati nurani. Aku tidak sanggup melihat Alen yang terbaring
lemah seperti itu dan hidup dengan bantuan alat-alat medis yang di samping
menopang hidupnya juga menyakitinya.
Kuberanikan
menyentuh tangannya dan menggenggamnya, “hai… Alen, kita bertemu lagi,” cetusku
sambil menahan tangis, “aku datang untuk menemuimu, seperti yang kamu tulis
dalam diary-mu.”
“Maaf
ya, aku lancang membaca-baca buku diary-mu.
Itu juga bukan sepenuhnya kemauanku, Kak Adry dan Wisnu yang memaksaku,” kupaksakan
bibirku ini untuk tersenyum. Mencoba mengajak bicara laki-laki yang telah coma selama hampir satu bulan itu, atas
permintaan keluarga dan sahabat baiknya.
“Mmm,
aku baru tahu kalau selama ini kamu memperhatikanku diam-diam,” ucapku lebih
rileks, seakan Alen tidak dalam keadaan tak sadarkan diri, setelah beberapa
saat diam, “aku pikir kamu type orang
yang cuek, bahkan acuh tak acuh. Kamu pasti tahu kalau aku sempat mencuri-curi
perhatian darimu, haha, konyol sekali memang. Tapi… kamu mengacuhkanku bukan?
Kamu bersikap seolah-olah aku tidak ada di sekitarmu.”
Air
mataku mulai mengalir mengenang kejadian ketika masa putih biruku, dadaku
tiba-tiba sesak mengingat laki-laki yang tempo dulu masih aku curi-curi
perhatiannya itu kini terbaring tak berdaya tepat di hadapanku.
“Aku
juga menyukaimu, Alen… sungguh! Aku masih menyukaimu seperti dulu…” aku
menggenggam tangannya lebih erat, “satu kali lagi aku katakan padamu, aku
menyukaimu seperti kamu menyukaiku.”
Beberapa
saat kemudian fluktuasi dari detector
detak jantung di meja kecil di samping ranjang Alen berubah menjadi sebuah
garis lurus disertai bunyi ‘tit’ panjang yang memekakkan telingaku.
Aku
menelungkupkan wajahku di ranjang Alen dengan linangan air mata yang sama
sekali tidak bisa kubendung, hati ini… hati yang selama ini menuntut haknya
kembali ditinggalkan penghuninya. Penantianku berhenti sampai di sini.
!!!
Suasananya
masih sama, hening dan kondusif seperti biasa. Perpustakaan. Di tempat ini, aku
menyimpan semua kenanganku dengan Alen, dari pertama kali aku bertemu dengannya
yang membuatku seakan tersengat aliran litrik hingga senja menjemputnya
beberapa bulan yang lalu.
“Ryn?”
panggilan Wisnu yang khas membuyarkan pikiranku yang tengah melayang-layang
entah ke mana. Kutolehkan kepalaku menatap Wisnu yang sudah duduk di sampingku,
“bagaimana skripsimu?” Tanyaku basa-basi sembari tersenyum.
Wajah
Wisnu bersemu merah, “baik-baik saja, kemarin lusa aku selesai siding,” ucapnya
dengan nada tersipu, “Oh ya… aku sudah membacanya.”
“Baca
apa?” Tanyaku pura-pura tidak tahu, sementara Wisnu malah terkekeh. Tahu,
sebenarnya aku tidak ingin mengungkit hal itu hingga waktu yang tidak bisa aku
tentukan.
Wisnu
menghela napas panjang sembari tersenyum, “aku pikir Alen akan sangat senang
jika dia tahu kisah cintanya ditulis menjadi sebuah novel, dia suka hal-hal
yang romantis.”
Senyumku
memudar mendengar ucapan Wisnu itu, ingatanku seketika tertumbuk pada laki-laki
yang kini sudah pergi mencari kebahagiaannya sendiri. Cintanya tetap terjaga
tanpa ternodai hingga senja menjemputnya.
“Jangan
bersedih lagi, sudah hampir enam bulan Alen pergi. Kamu harus bangkit seperti tokoh
pada novel yang kamu tulis,” ungkap Wisnu menasihatiku, yang kubalas dengan
seuntai senyum.
!!!
Juni 2006
Hari ini adalah hari terakhirku di
sekolah ini, sedih memang… seakan baru kemarin aku menjalani masa orientasi
siswa atau biasa disebut MOS. Hmm, Aku kembali melihatnya duduk sendirian di
perpustakaan dengan sebuah novel di tangannya.
Sebenarnya yang membuatku berat
meninggalkan sekolah ini adalah dia. Dia yang sejak pertama kali aku melihatnya
sudah meluluhkan hatiku.
Sudah berkali-kali aku memergokinya
mencuri pandang kearahku, bahkan mencuri-curi perhatianku ketika aku berada di
perpustakaan sekolah kami. Namun, aku selalu bersikap sok cool di depannya.
Karena jujur saja, dadaku tidak bisa kukendalikan jika aku melihatnya, jadi
terpaksa aku pura-pura mengacuhkannya.
Dia melepas kepergianku dari sekolah
ini dengan tatapan tidak rela, benar-benar membuatku berat melangkahkan kakiku
melewati gerbang utama. Maafkan aku, aku akan selalu di sekitarmu walau tanpa
sepengetahuanmu… aku menyukaimu…Meryn, aku benar-benar menyukaimu…
!!!
Mei 2012
Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin
sekali menemuinya. Kata Wisnu, dia sering duduk berjam-jam di perpustakaan dan
khusyu’ membaca novel. Hobby-nya tidak pernah berubah.
Meryn, kalau saja aku berani membalas
perasaanmu mungkin saat ini kita sudah menjadi sepasang kekasih. Namun, aku
terlalu takut menyerahkan hatiku ini kepada siapapun, termasuk kamu. Selain
itu, aku tidak ingin membuat masa remajamu terlewat hanya karena keegoisanku
untuk bersamamu.
Tapi aku yakin, suatu saat nanti kita
akan bertemu lagi… mungkin di tempat favoritmu. Perpustakaan.
The
End
NB: the next cerpen khayalanku......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar