My
First Accident Love
By: Miss Dhe
By: Miss Dhe
Mendung menyelimuti langit sore ini, hati Meta serasa masih beku dengan
kejadian enam tahun lalu. Masih tampak dengan jelas guratan wajah cowok
yang telah mampu membuatnya merasakan
apa itu cinta untuk pertama kali. Meta menitikkan air mata mengingat setiap
inchi kejadian di masa SMPnya itu.
Apa ini yang dinamakan cinta
pertama? Awalnya tak ada kesan yang istimewa bagiku, namun semakin hari hati
ini semakin terpaut padanya walau dia sudah tak menghirup udara di tempat yang
sama denganku, dia sudah pergi sejak lama.
Kian... kau angin yang terlalu
sejuk untukku, sampai ingatanku tak mampu untuk mengenyahkanmu.
Enam tahun sudah hati ini tersita
olehmu, tak ada yang lain yang dapat menggantikanmu. Sungguh! Aku tidak pernah
berbohong atas perasaanku sendiri, terlalu menyakitkan jika harus membohongi
diri terlalu lama.
Meta menatap lembar jawab UTS pertama di SMPnya dulu, “andai saat itu aku
dapat lebih dekat denganmu, mungkin saat ini aku tidak akan sesakit ini. Hatiku
terlalu rapuh menerima semua ini” Meta berkata pada dirinya sendiri dengan air
mata berurai.
“Bahkan aku tidak pernah tahu siapa dirimu sebenarnya, yang aku tahu hanya,
kamu adalah kakak kelasku yang telah membuat aku tergila-gila sampai aku
melupakan logika” Meta memeluk lembar jawaban bahasa daerah, satu-satunya
kenangan yang mengingatkan Meta dengan Kian, karena Kian membantunya menjawab
beberapa soal. Disaat itulah titik paling terdekat antara Meta dan Kian.
“Tak cukupkah kamu menjajah hatiku selama enam tahun ini? Sungguh sakit
hati ini menantimu dalam angan, aku hanya bisa berharap suatu hari nanti kita
akan berjumpa kembali” lirih Meta disela tangisnya yang tertahan. Hatinya yang
selama ini terluka seakan disiram air garam hingga terasa amat perih.
@@@
Meta berjalan sendirian di jalan setapak kampusnya yang rindang, dia
sengaja mencari tempat yang sejuk untuk sekadar melepaskan sejenak penat
hatinya. Terus menerus memikirkan orang di masa lalu membuatnya lelah, bahkan
frustasi.
Tanpa sengaja Meta menjatuhkan buku di tangannya, dengan malas Meta hendak
memungut bukunya kembali, namun urung karena ada tangan yang lebih dulu
memungutnya.
“Ini milikmu” ucap orang itu sembari tersenyum.
Seketika tubuh Meta kaku, seakan otak tak mampu mengendalikannya. Matanya
lurus menatap orang yang berdiri tegak dihadapannya, dengan senyuman yang
sangat dikenalnya.
“Hei, ini milikmu” ulang orang itu ketika Meta hanya terbengong menatapnya.
“Oh, oya. Terima kasih” sahut Meta sembari menundukkan kepalanya, Meta
mengambil alih buku yang diulurkan orang dihadapannya.
“Sayang...” ucap seseorang seraya menggamit lengan orang itu dengan manja,
gadis cantik dengan rambut tergurai indah di bahunya.
“Hei, kenapa lama sekali?” rajuk orang itu seperti anak kecil, kentara
sekali kalau keduanya adalah pasangan kekasih.
“Maaf...” sahut si gadis sambil menatap sang kekasih dengan tatapannya yang
menggoda.
“Ehm, terima kasih atas bantuanmu... permisi” sela Meta yang sudah tidak
tahan dengan pemandangan di depannya itu, terlalu menyakitkan untuknya.
Sangat tidak berperi kemanusiaan!!! Tariak
Meta dalam hati.
Meta meremas bukunya sadis, giginya gemeretak sangking kesalnya,
“arrghhhh!!!! Kenapa kamu menyebalkan sekali??? I hate you!!!” teriak Meta
sekencangnya, tak luput orang-orang yang berada tak jauh darinya menjadikan
Meta bahan tontonan, buku di tangannya sampai terjatuh ke aspal kembali. Namun
beberapa saat kemudian air mata Meta meleleh dengan suksesnya, hatinya
tercabik-cabik melihat kejadian yang baru saja dialaminya.
“Kenapa seperti ini? Aku pikir kamu dapat merasakan apa yang kurasakan...
setiap detik aku tidak bisa mengacuhkanmu, bahkan setelah lima tahun tidak
melihatmu aku masih dapat dengan mudah mengenalimu” Meta memungut bukunya lalu
membantingnya ke aspal, buku itu menjadi pelampiasan kekesalannya terhadap
orang yang baru saja ditemuinya.
“Hei, apa-apaan kamu? Menangis disini, sendirian pula” sapa seseorang
seraya mengulurkan sapu tangan kepada Meta. Meta menyeka air matanya dengan
punggung tangan lalu bangkit dan menghadap orang yang telah menghentikan
tangisannya.
“Aku hanya kelilipan” elak Meta tak masuk akal, sudah jelas-jelas dia
berteriak histeris sambil membanting-banting buku.
“Oh...” orang itu mangut-mangut pura-pura percaya. Mana ada orang percaya
dengan ucapan Meta kalau dia sudah melihat kejadiannya.
“Kenalkan namaku Arza” orang itu mengulurkan tangannya sembari tersenyum
manis.
“Meta” sahut Meta tak begitu peduli, hatinya sedang kacau tapi malah diajak
kenalan.
“Kenapa? Baru di putus pacar?” tanya Arza seraya memungut buku Meta dan
memberikannya kepada pemiliknya.
“Aku tidak punya pacar, mana mungkin aku bisa putus dengan pacarku” ungkap
Meta agak terkesan ketus.
Arza tertawa kecil, “jadi seperti itu? Emm bagaimana kalau aku yang jadi
pacar kamu?”
Kontan Meta membelalakkan mata belonya, tidak ada hujan tidak ada badai
tiba-tiba ada orang yang memintanya menjadi pacar padahal baru saja berkenalan,
tepat setelah melihat orang yang di puja bersama gadis lain pula. Lengkap sudah
hal-hal mengerikan terjadi pada Meta hari ini.
Meta tertawa garing, “ng... Mas, tolong ya jangan buat saya jadi tambah
frustasi. Cukup satu orang saja hari ini yang ingin saya tonjok mukanya” cetus
Meta dengan tatapan serius. Dia memang selalu serius dalam berbicara, apalagi
disaat seperti itu.
“Memang kenapa? Kamu pikir aku main-main?” Arza membalas tatapan Meta
dengan tatapan yang sama seriusnya.
Meta menelan ludah, ngeri juga berhadapan dengan orang asing seperti itu.
Siapa tahu orang itu termasuk orang yang nekat, kan bisa gawat urusannya.
“Jangan menatapku seperti itu, aku anak baik-baik” cetus Arza seakan dapat
membaca pikiran Meta yang sudah ngelantur.
Meta menghembuskan napas kesal, “yah siapa tahu, jaman sekarang tampang
bisa menipu. Banyak yang tampangnya polos tapi ternyata mengerikan”
Arza terkekeh pelan, “tapi aku tidak seperti itu, apa mataku terlihat
berbohong?” Arza mendekatkan wajahnya supaya Meta dapat melihat tatapan matanya
dengan jelas.
Meta mendorong bahu Arza menjauh, “jangan buat aku benar-benar menonjokmu!”
Bukannya takut, Arza malah semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Meta.
Tanpa babibu lagi Meta melayangkan tinjunya ke wajah mulus Arza yang membuat cowok
itu terjengkang ke aspal.
“Sudah kuperingatkan sejak awal’kan? Jangan ganggu aku lagi!” bentak Meta
kemudian meninggalkan Arza yang masih terduduk sambil menatap Meta tak percaya.
@@@
Daun-daun berguguran mirip suasana autumn di luar negeri, Meta tengah asyik
membaca buku di bawah pohon akasia sambil mendengarkan musik dari Ipodnya.
“Hai...” sapa Arza riang seraya duduk di samping Meta, Meta menatap arza
dengan ekor matanya. Kejadian beberapa hari lalu masih teringat jelas
dibenaknya.
“Aku mau minta maaf...” cetus Arza sambil mengulurkan sebatang cokelat
kepada Meta.
Meta melepas earphone-nya lalu menatap Arza serius, “kenapa bisa sampai
disini?” tanya Meta dingin.
“Aku juga mahasiswa disini, bahkan aku lebih dulu ada disini daripada kamu”
Arza tersenyum lembut sambil menatap Meta yang tampak tak begitu peduli dengan
kehadirannya.
Meta mendengus kesal seraya bangkit, dia tidak tahan berada di jarak yang
terlalu dekat dengan orang yang tiba-tiba muncul disaat yang sangat tidak tepat
itu. dengan santainya Arza mengikuti kemana Meta pergi, dia selalu menjajari
langkah Meta yang sengaja diperlebar.
“Cukup!” bentak Meta seraya menghadap Arza yang hanya senyum-senyum tidak jelas,
“apa maumu sebenarnya?”
Arza menggeleng sembari menatap Meta polos.
“Lalu kenapa kamu mengikutiku?” tanya Meta berusaha bersabar dengan
menurunkan volume suaranya.
“Karena aku mau” jawab Arza singkat, membuat kesabaran
Meta tak bisa diulur lagi. Kontan Meta melempar buku ditangannya dan berlari
sekencangnya meninggalkan Arza yang hanya terbenging ditempatnya. Beberapa saat
kemudian Arza tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan Meta yang
aneh itu.
“Dasar konyol! Apa-apaan dia membohongi perasaannya sendiri dengan orang
macam Cery yang manjanya overdosis? Padahal ada yang lebih baik menunggunya, yah
walaupun kelakuannya agak aneh” gumam Arza kemudian memungut buku Meta dan beranjak.
@@@
Arza menyeret tangan sahabatnya dengan keki setelah berjam-jam dibujuk
tanpa ada hasil, terpaksa Arza menggunakan cara nekat.
“Apa-apaan sih kamu, Za?” tanya sahabatnya tak bersemangat.
“Kamu yang apa-apaan? Jangan jadi
orang bodoh!” sahut Arza sudah tidak mau mentolerir lagi sikap sahabatnya itu.
Sahabat Arza menghela napas berat, “aku memang bodoh selama ini mengacuhkan
dia, tapi tidak mungkin’kan aku tiba-tiba muncul padahal dulu kita tidak pernah
saling kenal?” jelas sahabatnya setengah berkilah.
“Why not? Menurutku dia akan mengira semua itu adalah takdir” Arza
menghentikan langkahnya lalu menatap sahabatnya serius.
“Aku tidak sekuat itu, Za, aku tidak sanggup melihat tatapan matanya. Aku
tidak akan sanggup bernapas kalau aku bertemu dengannya lagi, aku mohon...”
Arza menghela napas panjang melihat wajah sahabatnya yang memelas,
sahabatnya itu selalu sukses merajuk kepadanya.
“Kali ini kamu harus turuti apa yang aku minta, ini untuk kebaikanmu. Aku
sudah tidak mau lagi melihat sahabatku hidup seperti orang mati, tanpa perasaan
didalam hatinya” kukuh Arza yang tidak biasa-biasanya.
Sahabatnya itu hanya menghembuskan napas pasrah.
@@@
Meta dikejutkan dengan kehadiran Arza yang tiba-tiba, dia yang hendak
keluar dari perpustakaan jurusan sampai terlonjak.
“Hei! Bisa nggak sih kamu tidak muncul tiba-tiba?” sungut Meta sambil
mengelus dadanya yang berdebar.
Arza hanya membalas dengan cengiran khasnya.
“Mau apa?” tanya Meta seraya beranjak, Arza mengikuti di belakang.
“Ada hal serius yang ingin aku bicarakan” cetus Arza membuat Meta
mengerutkan dahinya heran, tidak biasanya Arza bisa berbicara serius.
“Bicara saja, aku pasti mendengarkannya dengan baik” sahut Meta mencoba
tidak berpikiran negatif. Misalnya, merasa ge-er akan ditembak seperti waktu
pertama bertemu, atau apa begitu.
“Ng...itu...ng...anu...” cetus Arza ragu, dia malah menggaruk kepalanya
yang jelas-jelas tidak terasa gatal.
“Apaan sih?” Meta menghentikan langkahnya dan berbalik, hingga Arza nyaris
menabraknya karena tidak memperhatikan. Meta mendorong tubuh Arza menjauh.
“Kian ingin bertemu sama kamu” ungkap Arza cepat, semantara Meta hanya
menautkan alis tak mengerti.
Arza menghembuskan napas panjang melihat tampang Meta yang menyaratkan
ketidak mengertian, “oke, aku akan bicara lebih pelan. Seperti ini, ng.... Kian
ingin bertemu kamu”
Kontan Meta membekap mulutnya tak percaya, Kian?? Kian?? Apa tidak salah Arza menyebut nama dia?? Meta
bergumam dalam hati.
“Maaf, sebenarnya aku tahu tentang kamu dari dia. Kian adalah sahabat
baikku, sejak kecil kami selalu bersama” terang Arza dengan menundukkan kepala,
dia merasa bersalah karena selama ini menyembunyikan kenyataan itu dari Meta
yang telah terbukti secara nyata menyukai sahabatnya itu.
Meta
semakin tak mengerti arah pembicaraan cowok bermata tajam namun meneduhkan
dihadapannya itu, Kian?? Mimpi akan mendengar
namanya disebut pun tidak…
“Meta,
jangan menatapku seperti itu… aku serius dengan ucapanku” cetus Arza sembari
menatap Meta yang tak bereaksi apapun kecuali menatapnya tak percaya.
Meta
menghembuskan napas panjang kemudian memasang wajah datar kembali, “katakana
pada dia, aku harus menyelesaikan pekerjaanku dulu. Kalau mau bertemu di café
Kita kapan pun dia ingin” ungkap Meta kemudian berlalu.
Arza
menghembuskan napas panjang, hatinya tiba-tiba merasa tidak rela jika Meta
bertemu dengan Kian yang notabene adalah sahabatnya sendiri.
“Apa
yang terjadi padaku Ya Tuhan…?” Arza menekan dadanya yang terasa nyeri, seperti
ada yang mengganjal dan membuatnya sesak napas.
@@@
Terik
sang mentari menemani Meta yang tengah menemui dua cowok di café Kita. Arza
benar-benar datang bersama Kian, orang yang selama ini di nantikan Meta. Namun
Meta malah lebih memperhatikan orang yang duduk di samping Kian, yaitu Arza
yang hari itu tampak pucat, senyumnya juga tak setulus biasanya, seperti ada
yang sedang Arza tutupi.
Kian
hanya mengajak Meta mengobrol ringan, sementara Arza sesekali menanggapi dengan
senyuman atau anggukan kepala.
“Ng…
aku ke toilet dulu ya…” pamit Arza kemudian berlari menuju arah barat café,
dimana toilet berada. Tatapan Meta mengikuti kemana Arza melangkah hingga
menghilang di balik pintu, hatinya mengatakan ada yang tidak beres dengan Arza
yang biasanya bersikap ceria itu.
“Ki,
aku juga ke toilet dulu… sebentar saja” Meta meletakkan handphone-nya dimeja
lalu pergi ke toilet, namun niat sebenarnya hanyalah ingin memastikan
feelingnya sejak bertemu Arza tadi.
Meta
mengetuk pintu toilet yang satu-satunya tertutup, “Za… kamu didalam? Arza…”
panggil Meta sambil menyandar di kusen pintu. Tak ada jawaban.
“Arza!
Jangan macam-macam… jawab aku, aku tidak mau ada orang yang tahu kalau aku
masuk toilet cowok… Arza!” Meta memperkeras ketukannya, namun masih sama, tak
ada jawaban. Membuat Meta seketika gelisah, dia takut terjadi apa-apa dengan
cowok itu.
“Za…
jawab dong, jangan diam aja” Meta mengetuk pintunya lagi, tak selang waktu lama
Arza muncul sambil nyengir khasnya.
“Ada
apa sih?” tanya Arza sembari mengusap tangannya dengan tissue, wajahnya semakin
tampak pucat.
“Are
you okay?” Meta menempelkan punggung tangannya di dahi Arza untuk memastikan
kalau cowok itu demam atau tidak.
Arza
terkekeh, “aku baik-baik saja” ucapnya sembari tersenyum. Meta menatap lurus ke
manik mata Arza hingga membuat cowok itu salah tingkah.
“Kamu
apa-apaan sih?” tanya Arza gugup.
Meta
meraih tangan Arza dan menggenggamnya, “aku mau minta maaf” cetus Meta tanpa
mengalihkan tatapannya.
“Minta
maaf buat apa?” tanya Arza tak mengerti dengan alur pembicaraan gadis di
hadapannya itu.
“Karena
sepertinya rasa di hatiku sudah luntur kepada sahabatmu, sungguh! Selama ini
aku memang masih mengharapkannya, namun entah kenapa saat aku melihatnya
kembali rasa itu ternyata sudah mati” ungkap Meta memberikan penjelasan yang
sejujur-jujurnya.
Sontak
Arza membelalakkan matanya tak percaya, “kenapa bisa begitu?” tanyanya
tergagap.
“Aku
juga tidak tahu, mungkin aku selama ini hanya terbawa emosi masa puber saja.
Sekarang aku sudah dewasa, aku sudah bisa membedakan mana yang benar-benar
perasaan cinta atau hanya obsesi” tutur Meta seraya memalingkan wajah, dia
tidak sanggup berlama-lama lagi beradu pandang dengan Arza.
Arza
menekan dadanya yang tiba-tiba sesak, “apa itu benar? Apa kamu tidak bisa beri
Kian kesempatan kedua?” tanyanya susah payah, sementara Meta hanya memberi
jawaban dengan gelengan kepala.
“Aku
benar-benar minta maaf, Za, permisi” Meta beranjak tanpa menatap Arza lagi yang
hanya bisa menatap getir kepergian gadis yang diam-diam mulai di sukainya itu.
@@@
Meta
berlari menyusuri koridor rumah sakit yang masi lengang, satu jam yang lalu dia
mendapat telepon dari Kian kalau Arza masuk IGD. Ketika sampai di depan ruang
rawat Arza, hanya Kian yang tengah terlelap di kursi tunggu yang ditemuinya.
Meta
duduk disamping Kian untuk melepas lelah setelah berlarian di pagi-pagi buta,
dia menatap wajah Kian yang tampak letih ada rasa bersalah menyelinap di lubuk
hatinya. Namun, mau bagaimana lagi? Rasa di hatinya telah hambar.
“Meta?
Kamu sudah datang?” ucap Kian terkejut ketika melihat Meta telah duduk di
sampingnya.
“Ya”
jawab Meta singkat sembari tersenyum, “apa yang terjadi sebenarnya?”
Kian
menghembuskan napas panjang, “Arza mengidap asma akut sejak kecil, kemarin
tiba-tiba asmanya itu kambuh. Aku juga tidak tahu kenapa bisa sampai seperti
ini?”
Meta
mendekap mulutnya tak percaya, cowok se aktif Arza ternyata mengidap penyakit
asma akut. Pantas saja kemarin Meta melihat seperti ada yang tidak beres dengan
sikap Arza.
“Dia
mencarimu” ucap Kian lirih tanpa berani menatap wajah Meta, “dia mencarimu
dalam tidurnya”
Deg!
Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menggelayuti hati Meta mendengar ucapan Kian
yang terkesan seperti suatu dakwaan.
“Dia
menyukaimu” lanjut Kian cukup membuat Meta Shock, Meta menggigit bibir bawahnya
gelisah menunggu ucapan Kian selanjutnya.
Kian
tersenyum hambar, “tapi ya sudahlah tidak apa-apa, itu hak dia untuk menyukai
siapapun termasuk kamu. Sekarang kita temui Arza saja, mungkin dia sudah sadar”
ajak Kian tak terduga sama sekali.
Meta
mengangguk lalu mengikuti Kian masuk ke ruang rawat Arza.
@@@
Angin
tak begitu kencangnya untuk mampu menerbangkan dedaunan yang tengah berguguran.
Arza
bersimpuh di depan Kian dengan napas tersengal-sengal, “sungguh, Ki, aku tak
bermaksud apapun… tolong maafkan aku…”
“Sudah
beratus kali aku bilang, aku tidak apa-apa. Kamu mempunyai hak untuk menyukai
siapapun termasuk Meta, lagipula aku tak ada hubungan khusus dengan dia, kamu
tahu itu’kan?” ungkap Kian mencoba terlihat biasa saja walau sebenarnya hatinya
telah hancur berkeping-keping, Kian tersenyum bijak sembari menepuk bahu Arza,
“pikirkan dulu kesehatanmu, aku tidak mau melihatmu sakit lagi”
Kontan
Arza bangkit dan memeluk sahabatnya itu, ‘jangan pernah benci aku, Ki, kamu
sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Aku berjanji tidak akan merebut Meta
darimu, dia milikmu”
“Tidak”
ucap Kian seraya melepas pelukan Arza, “Meta bukan milikku, dia bahkan sudah
tidak mempunyai rasa apapun kepadaku. Itu peluang bagus untukmu, bukan?”
Arza
tersentak, “aku tidak sejahat itu, merebut orang yang sangat di sayangi
sahabatnya sendiri” ungkap Arza sungguh-sungguh.
“Aku
tahu, tapi aku akan lebih bahagia jika kedua orang yang aku sayangi juga
bahagia. Aku pikir Meta juga menyukaimu” Kian kembali menepuk bahu Arza
kemudian beranjak. Kian sudah tidak sanggup lagi membendung perasaan sedihnya,
dia takut kalau Arza sampai tahu betapa hancur perasaannya saat ini, dia memang
berhasil menyembunyikan perasaannya kepada Meta namun dia tidak yakin jika
didepan Arza yang notabene adalah sahabat baiknya.
Apa ini yang kamu rasakan dulu, Met? Saat aku
mengacuhkanmu dengan sadisnya, padahal kamu sudah memberanikan diri mengirim
sinyal-sinyal yang menyatakan bahwa kamu menyukaiku. Rasanya benar-benar sakit,
Met, apalagi orang yang menjadi rivalku kini adalah sahabatku sendiri.
Kian
terduduk lemas di kursi tunggu dengan air mata yang tanpa pertimbangannya
meluncur begitu saja.
Tak
jauh dari sana Meta menatap Kian dengan tatapan bersalah, hatinya ikut sakit
melihat air mata Kian yang semakin lama semakin deras.
Aku minta maaf, Kian, mungkin kamu pikir aku sudah
tidak memikirkanmu lagi tapi itu salah. Aku malah semakin memikirkanmu di atas
apapun, kamu tetap mendominasi hatiku walau aku mulai menyukai Arza. Kamu tetap
orang pertama dan terakhir yang dapat membuatku tak pernah ingin mempunyai
orang lain lagi.
@@@
Kian
menatap hamparan bunga yang tumbuh di taman rumah sakit dari kursi semen di
tepi taman, “sangat indah” gumamnya sembari tersenyum pahit, “tapi sayang aku
tidak dapat memetiknya”
“Kamu
dapat memetiknya suatu saat nanti” sahut sebuah suara membuyarkan lamunan Kian.
Kian mendongak dan agak membulatkan mata ketika melihat Meta telah berdiri disampingnya
sambil bersedekap.
“Bagaimana
mungkin? Kamu tidak lihat ada tulisan ‘dilarang memetik bunga’?” tanya Kian
dengan nada yang terkesan sinis.
Meta
duduk di samping Kian sembari tertawa kecil, “tak selamanya tanda itu berarti
seperti itu, jika kamu memang sangat menginginkannya kamu bisa bicara baik-baik
kepada pemiliknya”
Sontak
Kian menatap wajah Meta yang tampak santai, sesekali gadis itu
mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama musik dari Ipodnya, “apa maksudmu?”
tanya Kian meminta penjelasan, dia tahu ucapan Meta bukan tak memiliki maksud
di belakangnya.
Meta
tersenyum seraya menatap Kian dalam, “tidak ada, memang kenapa? Kamu
mengharapkan maksud lain dari ucapanku?”
Kian
membalas tatapan Meta, “aku melihat di matamu kalau ada arti lain dari ucapanmu
itu”
Meta
menghembuskan napas lega lalu menengadahkan wajahnya sambil memejamkan matanya,
“syukurlah kalau kamu tahu, aku tidak perlu menjatuhkan harga diriku dengan
mengatakannya langsung”
Kian
mendengus kesal, “lalu apa yang kamu mau sekarang? Jangan buat aku seperti
orang bodoh”
Meta
melirik Kian sekilas, “aku mau kamu tidak salah paham denganku dan juga Arza”
“Salah
paham?” Kian terkekeh, “buat apa aku salah paham dengan anak kecil macam kamu?”
Kontan
Meta mengerucutkan bibirnya beberapa centi, sementara Kian tertawa lepas
sembari mengacak rambut Meta sangking gemasnya.
Dari
jendela ruang rawatnya, Arza menatap sahabatnya bisa kembali tertawa selepas
itu dengan perasaan lega. Melihat sahabatnya bahagia lebih membahagiakan
daripada mendapat gadis yang di sukainya.
Aku tahu, Meta, jauh di lubuk hatimu masih ada Kian.
Tidak mungkin secepat itu kamu bisa melupakan orang yang sangat kamu sayangi
bahkan kamu cintai. Aku hanya bisa berdo’a supaya kalian selalu bahagia, karena
dengan begitu aku juga bahagia…
Nb: Tolong harap maklum jika cerita khayalku ini agak aneh,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar