My
Handsome Prince Called Queen
By: Miss Dhe
By: Miss Dhe
Dafa
menatap prihatin adik sepupunya yang terbaring lemah di salah satu kamar inap
di rumah sakit Ayahnya, sudah hampir tujuh hari ini Queency atau biasa
dipanggil Dafa dengan sebutan Queen, tak sadarkan diri akibat dari kecelakaan.
"Kakak?"
ucap seseorang menyentakkan Dafa yang tengah melamun.
"Melanie?"
pekik Dafa tak percaya dengan indera penglihatannya, gadis yang satu minggu
lalu baru saja berangkat ke Singapura kini sudah ada dihadapannya.
"Kenapa
kamu ada disini?" tanya Dafa seraya membantu Melanie yang tampak kacau
masuk ke kamar inap Queen. Dafa mendudukkan Melanie di sofa lalu menyuruhnya
minum segelas air putih.
"Kenapa
Kakak tidak beri tahu aku?" tanya Melanie dengan wajah kecewa, tatapannya
tak bisa lepas dari Queen yang masih memejamkan matanya.
"Maaf,
aku juga sangat bingung kemarin" sahut Dafa seraya bangkit lalu duduk di
kursi yang berada di sisi tempat tidur Queen.
"Kenapa
Kakak membiarkan aku tahu dari orang lain? aku merasa sangat jahat, tidak
memperdulikan dia yang terbaring tak berdaya" air mata Melanie mulai
menetes, "bahkan mungkin aku yang menyebabkan dia seperti ini"
"Bukan
karenamu, Mel. Queen pasti tahu akibatnya akan seperti ini saat kejadian
itu" ucap Dafa menenangkan orang yang selalu menjadi yang paling istimewa
di hati sepupunya itu. Walaupun Dafa tetap setia disamping Queen.
"Memangnya
apa yang dia lakukan waktu itu?" tanya Melanie disela tangisnya.
"Menyusulmu
ke bandara" balas Dafa singkat.
Melanie
mendekap mulutnya lalu keluar, dia tidak kuat melihat keadaan orang yang biasanya
tersenyum kepadanya itu kini terbaring tak berdaya, bahkan untuk bernapaspun
dia harus dibantu dengan selang oksigen.
Dafa
mengikuti Melanie keluar dan memeluknya, "Queen menyelamatkan nyawa
seseorang, Mel. Dia pasti tidak akan menyalahkan siapapun karena memang tidak
ada yang salah"
"Menyelamatkan
nyawa seseorang?" tanya Melanie tak mengerti.
"Waktu
itu dia sangat terburu-buru ingin menyusulmu ke bandara untuk minta maaf, tapi
tiba-tiba ada anak kecil berlari ketengah jalan. Queen nyaris saja membunuh
anak itu kalau dia tidak membelokkan arah motornya" ungkap Dafa
menjelaskan, "anak itu selamat, dia tak terluka sama sekali"
"Tapi
Queen? dia harus terbaring seperti mayat hidup dengan balutan perban
dimana-mana" ucap Melanie lalu menyandarkan kepalanya di bahu Dafa, air
matanya semakin mengalir deras.
###
Melanie
memegang wajah Queen yang tak terbalut perban, padahal seluruh kelapanya
dibalut perban tebal. Sejenak Melani jadi teringat ucapan Queen dulu,
membuatnya sedikit tertawa geli. Dulu Melanie menganggap ucapan itu hanya
bercandaan.
"Apa yang akan kamu selamatkan pertama
kali kalau terjadi sesuatu yang buruk padamu?" tanya Melanie seraya
menyandarkan kepalanya di bahu Queen yang menatap indahnya langit malam itu.
Cowok itu sepertinya sedang menghitung bintang, karena sedari tadi mulutnya
komat-kamit tidak jelas.
"Wajah tampanku" balas Queen
mantap, "bukankah itu asetku?"
Melanie tertawa renyah mendengar jawaban
Queen yang tak masuk akal itu, "apa kamu lebih menyayangi wajahmu daripada
aku?"
"Ng...bisa dikatakan seperti itu"
sahut Queen sambil mengacak-acak rambut Melanie, gemas. Kemudian dia ikut
tertawa.
"Ternyata
ucapanmu waktu itu benar, kamu terlalu menyayangi wajahmu" ucap Melanie
sembari tersenyum kecil, "Queen,walaupun aku belum bisa memaafkanmu, aku
tidak akan tega meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. Cepat bangun ya
pangeran tampan, semua orang menunggumu"
"Bahkan
dalam keadaan seperti ini, kamu masih tampak sangat menawan, Queen. Seharusnya
namamu King atau Prince" ucap Melanie tanpa mengalihkan tatapannya dari
wajah Queen yang tampak pucat.
"Ibunya
tidak akan memberinya nama itu kalau Ayahnya tidak menginginkan anak
perempuan" cetus Dafa yang baru saja masuk, cukup membuat Melanie
terlonjak beberapa centi dari kursi yang didudukinya, "bagaimana
keadaanmu?"
"Baik,
sepertinya Kakak yang kurang baik" sahut Melanie seraya bangkit dan ikut
duduk di sofa bersama Dafa.
"Ohya?
aku baik-baik saja, bagaimana Queen apa sudah ada perkembangan?" tanya
Dafa sambil mengeluarkan barang-barang dari dalam ranselnya.
Melanie
menggeleng, "dia masih terlelap tidur, mungkin sedang bermimpi bertemu
dengan bidadari. Jadinya enggan bangun"
"Buat
apa dia bermimpi bertemu dengan bidadari? bidadarinya selalu ada
disisinya" ungkap Dafa membuat pipi Melanie memerah karena malu.
"Setelah
Queen sadar, aku langsung kembali ke Singapura. Kuliahku sudah akan mulai"
ucap Melanie sembari tersenyum simpul.
"Kamu
masih marah dengan Queen?" tanya Dafa dengan suara dipelankan.
Melanie
menghembuskan napas berat, wajahnya menyaratkan kebimbangan.
"Mungkin.
Dua tahun kami bersama tapi tiba-tiba dia berubah tanpa aku tahu
alasannya" ucap Melanie lirih.
Dafa
menepuk bahu Melanie pelan, "Queen mungkin berbuat salah, tapi tolong
maafkan dia. Walaupun berat, tolong maafkan dia"
Melanie
menatap cowok yang lebih tua tiga tahun darinya itu lekat-lekat, matanya
memancarkan kebijaksanaan dengan guratan alis yang tegas. Sejenak ada pikiran
konyol menyusupi kepalanya, mengapa dia dulu tidak bertemu dengan Dafa sebelum
dengan Queen, pasti dia sekarang masih bahagia dengan Dafa. Namun Melanie
langsung menepisnya jauh-jauh.
"Aku
butuh waktu, Kak. Rasanya masih sakit, apalagi secara bersamaan ada orang lain
yang menawarkan hatinya" ungkap Melanie membuat dahi Dafa berkerut.
"Maksud
kamu?" tanya Dafa tak mengerti.
"Nara,
teman Queen di klub basket semasa SMA. Dia hadir saat hubungan kami
merenggang"
Dafa
memegangi kepalanya yang tiba-tiba pening, dadanya juga terasa sesak.
"Kenapa
secepat itu? aku yakin kamu tidak mencintainya, kamu hanya menganggapnya sahabat.
Iya'kan?"
"Entahlah,
Kak. Aku juga tidak tahu, tapi yang jelas Nara tidak pernah membuatku
menangis" ucap Melanie sambil menatap entah kemana.
"Semua
keputusan ada di tanganmu, tapi satu yang aku minta. Jangan sampai kamu
menyakiti perasaanmu sendiri" ucap Dafa mewanti-wanti.
Melanie
menganggukkan kepalanya.
###
"Kamu sudah jadian dengan Queen?
beruntung sekali kamu, dia cowok paling ganteng di SMA ini. Banyak cewek yang
ngejar-ngejar dia, tapi dia malah milih kamu" ucap Indri, teman sebangku
Melanie, heboh. Mengundang tatapan aneh dari teman-teman sekelas mereka, tapi
Indri tak peduli.
"Kamu pelan-pelan dong, aku bisa
dikeroyok sama fans-fansnya Queen yang bejibun itu" keluh Melanie dengan
suara dipelankan, takut ada yang mendengar.
"Cuek aja lagi, kamu baru dapat durian
ambruk gitu. Queen? itu anugrah terindah, Mel" sahut Indri seraya
menerawang langit-langit kelas.
Percakapan
itu masih terngiang-ngiang di telinga Melanie, walau sudah dua tahun terlewat.
"Sekarang
Queen bukan lagi anugrah terindah buat aku, Ndri. Dia berubah" gumam
Melanie yang lebih ditujukan kepada dirinya sendiri, "waktu itu kita masih
SMA, belum mengenal istilah serius"
Melanie
memandangi frame warna emas yang didalamnya terdapat fotonya bersama Queen
dengan seragam SMA dicorat-coret sambil tersenyum gembira. Saat foto itu
diambil memang mereka ditengah perayaan kelulusan, dan itu sudah satu tahun
berlalu.
Lamunan
Melanie terputus ketika suara ringtone dari HPnya memanggil-manggil. Nama Nara
terpampang dilayar HP, menunjukkan cowok jangkung itu yang meneleponnya.
"Halo,
Nara. Ada apa?" tanya Melanie setelah menekan tombol yes.
"Tidak
ada apa-apa, aku hanya ingin mendengar suaramu. Aku rindu" balas Nara dari
seberang.
Melanie
tertawa kecil, "kamu bisa saja, Ra. Kamu tidak sibuk?"
"Tidak,
kebetulan aku free. Kamu dimana sih, kok aku cari di apartement kamu tidak
ada?"
"Aku
di Indonesia"
"Kamu
pulang lagi? apa ada masalah?"
"Tidak.
Hanya saja ada yang harus aku kerjakan disini"
"Oke,
kalau sudah selesai cepat kembali. Aku mau mentraktirmu makan di restoran
temanku, katanya enak"
"Boleh,
ya sudah aku tutup ya"
"Oke,
kalau kamu memang sedang sibuk. Bye"
"Bye"
balas Melanie lalu memutuskan hubungan teleponnya dengan Nara, cowok yang cukup
good looking dan yang terpenting dia peka terhadap perasaan Melanie.
"Nara
memang tidak se-ganteng dan se-pintar Queen, tapi Nara lebih lembut dan peka.
Apa aku terima tawaran Nara untuk melabuhkan hatiku kepadanya?" cetus
Melanie menimbang-nimbang, namun tiba-tiba bayangan Queen muncul. Melanie cukup
terkejut teringat wajah Queen yang tersenyum kepadanya lalu tiba-tiba berubah
menjadi wajah Queen yang pucat karena sudah satu minggu lebih tak sadarkan
diri.
Napas
Melanie sampai terengah-engah tidak keruan, "Queen...kenapa aku
tidak bisa mengacuhkanmu barang sedetik saja?"
###
Melanie
membuka pintu kamar inap Queen dan hendak masuk, namun setelah melihat apa yang
ada didalam ruangan itu Melanie mengurungkan niatnya dan pergi begitu saja.
"Melanie..."
panggil Queen yang baru beberapa jam lalu sadar dari tidur panjangnya. Tapi
Melani tidak mempedulikan panggilannya, terpaksa Queen mencabut paksa jarum
infus yang menacap di punggung tangan kanannya, menyebabkan darah mengalir dengan
suksesnya.
"Melan..."
panggil Queen lagi seraya mengejar Melanie yang sudah menghilang,
"Melan...kamu dimana?"
Melanie
menghapus air matanya yang terus mengucur dari ujung matanya, entah mengapa
hatinya sakit ketika melihat senyuman dari bibir Queen.
Queen
dapat mengejar Melanie, senyumnya kembali mengembang.
"Melan"
panggil Queen pelan, namun dapat menghentikan langkah Melanie yang lebar-lebar.
Melanie
membalik badannya dan melihat Queen berdiri dengan payah di belakangnya, tangan
kanannya berlumuran darah.
"Apa
yang kamu lakukan disini, Queen?" bentak Melanie membuat Queen terkejut,
"kamu masih harus istirahat disana"
"Lan,
aku mau bicara denganmu" balas Queen lirih, sambil terus menatap Melanie
dalam-dalam.
"Tidak
ada yang harus kita bicarakan lagi" ucap Melanie seraya menghampiri Queen
dan menggamit lengannya, "aku antar ke kamarmu, aku tidak mau dituduh
melarikanmu"
Queen
menahan tangan Melanie, "Lan, aku mohon..."
Melanie
tidak menghiraukan ucapan Queen, dia terus berjalan setengah menyeret Queen
yang kepayahan berjalan.
Melanie
mengambil sapu tangannya lalu dililitkannya di tangan Queen yang berdarah,
"tahan sebentar lagi"
Saat
sampai didepan kamar inapnya kesadaran Queen menurun seketika, tubuhnya melemas
dan Queen kembali tak sadarkan diri, membuat Melanie sangat panik.
"Queen,
kamu kenapa?" tanya Melanie sambil terus memegangi tangan Queen. Melanie
celingukan mencari orang supaya membantunya, namun tak ada seorangpun. Melanie
baru ingat kalau saat itu malam telah sangat larut. Dengan sigap Melanie
menelepon Ayah Dafa yang notabene adalah kepala rumah sakit.
###
"Kamu
benar mau kembali ke Singapura sekarang?" tanya Dafa untuk yang kesekian
kalinya selama diperjalanan menuju bandara.
"Iya,
Kak, lagipula Queen sudah sadar" sahut Melanie tidak bisa menjawab
pertanyaan Dafa. Karena menurut Dafa, masih ada keraguan dari nada bicara
Melanie.
"Kata
Ayah, tadi malam Queen keluar kamar dan mencabut selang infusnya. Aku tahu tadi
malam kamu juga ada disana" ucap Dafa membuat Melanie salah tingkah.
"Lalu?"
Dafa
menghela napas panjang, "apa kalian sudah bicara?"
Melanie
memalingkan wajahnya keluar kaca mobil Dafa, "sudah" ucapnya tak
benar-benar dari hatinya.
Dafa
tiba-tiba memutar arah mobilnya, dia mengarahkan mobilnya menuju rumah sakit
Ayahnya. Tidak peduli dengan Melanie yang memaksanya untuk menghentikan laju
mobilnya.
"Kalian
harus menyelesaikan urusan kalian. Jangan pergi dengan keadaan seperti
ini" ucap Dafa sambil terus fokus ke jalanan yang dilaluinya.
"Aku
ada janji dengan temannku, Kak, tolong turunkan aku disini" ucap Melanie
setengah memohon, namun entah kenapa hatinya yang lain malah bersorak gembira.
"Lupakan
janjimu dulu, Queen menunggumu"
###
Dafa
menanyakan kepada setiap suster yang ditemuinya tentang keberadaan Queen,
karena Queen tidak ada didalam kamarnya. Namun tidak ada yang tahu kemana
perginya Queen.
Melanie
juga sama, dia panik mencari Queen di seluruh ruangan rumah sakit yang luasnya
bisa membuat kakinya gempor itu.
Dafa
menarik tangan Melanie dan mengajaknya ke ruangan Ayahnya.
"Yah,
dimana Queen?" tanya Dafa saat membuka pintu ruangan Ayahnya.
"Dafa,
masuk kok tidak ketuk pintu dulu" sahut Ayahnya sambil geleng-geleng
kepala.
"Tolong,
Yah. Beritahu aku dimana Queen sekarang, bukannya kata Ayah tadi malam Queen
perdarahan?" cetus Dafa tidak sabar.
Ayahnya
tersenyum kecil, "kalian tenang saja. Queen tidak apa-apa, dia ada dirumahnya"
"Tapi,
Om. Queen'kan..."
"Iya
Melanie, dia memang masih sangat lemah. Makanya Om utus dokter Karen untuk
merawatnya sampai Queen benar-benar pulih, Om tidak tega melihat Queen
memohon-mohon untuk pulang" ungkap Ayah Dafa menjelaskan.
Dafa
dan Melanie kompak menghembuskan napas lega.
"Kalian
kesana saja kalau mau memastikan keadaan Queen" saran Ayah Dafa yang
langsung disetujui Dafa dan Melanie.
###
Melanie
langsung menghambur ke pelukan Queen yang baru saja selesai disuntikkan obat
oleh dokter Karen.
"Melan,
kamu kok masih disini?" tanya Queen heran, seharusnya gadis yang sekarang
dipelukannya itu sudah terbang ke negeri singa sana.
"Mana
mungkin aku meninggalkan orang bodoh sepertimu sendirian" balas Melanie
seraya melepaskan pelukannya, pipinya sudah banjir air mata.
Queen
tersenyum sembari menghapus air mata Melanie dengan ibu jarinya. Melani
memegang tangan Queen yang tadi malam mengalami perdarahan.
"Maaf,
gara-gara aku kamu terluka dan sakit" ungkap Melanie menyesal.
Queen
menarik tangan kanannya yang diperban dan menempelkannya didada, "aku
tidak peduli, sakitnya tidak seberapa. Karena sakit ditempat ini lebih menyiksaku"
Melanie
ikut memegang dada Queen, membuat tangan keduanya bertumpuk.
"Aku
akan membantumu menyembuhkannya" ucap Melanie sambil menatap mata Queen
yang juga tengah menatapnya. Pandangan mereka bertemu.
Namun
seketika Queen menundukkan kepalanya, "bagaimana Nara? bukannya kamu
sedang dekat dengan dia?"
Melanie
tampak salah tingkah mendengar ucapan Queen itu, ditambah Queen melepaskan
tangan Melanie dari tangannya.
"Hatiku
tidak bisa di bohongi, kalau aku hanya menyukaimu" ungkap Melanie kemudian
memeluk Queen erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi.
Queen
tidak dapat membalas pelukan Melanie karena tangannya masih sakit, tapi hatinya
dapat membalas perasaan Melanie sepenuhnya.
###
Dear Nara...
Maaf, aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk
makan bersamamu. Dan aku juga tidak bisa membalas perasaanmu, sekali lagi maaf.
Disini pangeran tampanku lebih membutuhkanku, semoga kamu tetap baik-baik saja
dan mendapat gadis yang jauh lebih baik dariku.
Kamu sahabat terbaik yang pernah aku miliki, dan tetaplah menjadi cute
guy untuk semua orang.
You're best friend,
Melanie.
Nara
membaca e-mail dari Melanie itu berulang kali, seperti mimpi dia mendapatkan
jawaban yang tak diinginkannya. Walaupun hatinya sangat kecewa, Nara berusaha
tetap menerima keputusan Melanie. Nara sadar, cepat atau lambat kenyataan pahit
itu pasti akan dihadapinya.
"Aku
tahu kamu akan memilih Queen, tapi aku senang sudah mengungkapkan perasaanku
yang selama ini terpendam" Nara memeluk foto Melanie sambil terus
mengucurkan air mata.
NB: Kembali ada cerpenku yang khayal bin khayalun, haha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar